Aku terdiam melihat laki laki misterius itu di depanku menyodorkan tanganya.
" Mel? " Tanya laki laki itu.Dia sesekali memetikan jari di depan wajahku. Aku sadar dari lamunan lalu melihat laki laki itu lagi.
" Gapapa kok " Jawabku pelan.
Aku menundukan kepala melihat tanganku yang masih terluka karena goresan dari cicin Stefan.
" Lu yakin gapapa Mel? " Laki laki itu menyentuh pipiku lalu menaikan kepalaku. Aku hanya bisa terdiam dan kembali menundukan kepala.
" Tau dari mana nama gue? " Tanya ku kepada laki laki itu.
Laki laki itu menaikan kepalaku lagi
" Dari orang, mending sekarang kita ke UKS sembuhin tangan lu dulu " Jawab laki laki itu." Iya bener Mel, kita ke UKS dulu " Sambung Netta membenarkan.
Kami berjalan menuju UKS, bertiga. Selama perjalanan aku menundukan kepala karena malu di lihat orang orang yang melihat darah di tanganku.
Aku ingin menyembunyikan luka ini, tapi bila tersentuh sedikit saja sudah terasa perih, jadi aku membiarkannya.
Di UKS, aku hanya terdiam melihat laki laki itu sedang mengobati tanganku, karena Netta tidak tahu caranya mengobati luka.
Netta cewek tomboi yang cuek dengan segala sesuatu kecuali dengan orang dia sayang.
Dulu Netta pernah terluka di bagian kakinya hingga harus di jahit karena bermain bola. Tapi, nyatanya Netta tidak perduli tentang kakinya itu, dia lari dari rumah sakit berjalan pulang sendiri ke rumah dan melanjutkan bermain bola dengan teman teman cowoknya.
" Perih.. " Aku menarik tanganku saat di beri obat oleh laki laki itu. Dia menarik kembali tangan ku lalu menggengam pergelangan tanganku dengan tangan kirinya, dan melanjutkan memberi obat dengan tangan kanannya.
" Tahan sebentar. " Dia dia menepuk nepuk pelan lukaku dengan kapas yang sudah di beri obat.
Karena lukaku bentuknya memanjang di belakang telapak tangan, dia melilit tanganku dengan perban. Sangat rapi hasil lilitanya, seperti dia sudah lama melakukan hal ini.
" Sudah, lu masih bisa gerakin jari kok. Gue gak perban jari lu, sering sering di ganti ya. " Laki laki yang sampai sekarang aku belum tahu namanya tersenyum kepadaku.
Aku melihatnya dan tersenyum kaku.
" Pipi lu luka, gak di obatin juga? " Tanya ku sambil menunjuk goresan kecil di pipinya.Mungkin karena terkena cincin Stefan. Stefan selalu menggunakan cincin di kedua jari manisnya, entah kenapa.
" Gapapa, luka kecil. Nanti sembuh sendiri " Dia menutup lukanya dengan tangan saat aku menunjuknya. " Perhatiin luka lu sendiri, itu lumayan parah harus rutin di bersihin, di kasih obat juga jangan lupa di ganti perbannya tiap hari. " Jelas laki laki itu." Mela mana mungkin ingat begituan, dia itu orangnya cuek, pelupa banget. Udah tua kali. " Sahut Netta yang dari tadi duduk di sebelahku.
" Apaan sih lu? " Jawabku kesal lalu memutar bola mataku.
" Hmm, kalau gitu biar gue aja yang ganti rutin perban lu. " Sahut laki laki itu.
" Gak usah, ngerepotin. " Sontak aku langsung reflek menolak tawaran laki laki itu.
" Santai aja, papa dan mama gue dokter. Dari kecil gue selalu di ajarin buat melindungi orang lain, apalagi cewek. " Jelas laki laki itu santai sambil melihatku dengan tersenyum. Aku membalas senyum.
" Tapi gak usah deh, takut ngerepotin " Jawabku lagi menolak tawaran laki laki itu.
" Ya elah Mel, gak usah sok deh. Udah di tawari baik baik juga, Terima aja " Sahut Netta yang melirik ke arahku dan sedikit mendorong tubuhku dengan lengannya.
Laki laki itu mengancungkan ibu jari pada Netta lalu tersenyum.
" I-iya " Aku tersenyum kaku melihat laki laki itu yang dari tadi melihatku." Btw, gue belum tau nama lu " Kataku.
" Hmm, sesuai janji ya. " Laki laki itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi sebentar lalu mengangkat tubuhnya lagi.
" Kenapa? Kok keliatan gelisah? Gue cuma tanya nama. " Tanya ku melihat wajah laki laki itu tampak gelisah.
" Gak apa kok. " Jawab laki laki itu sambil tersenyum.
" So? " Aku melihat ke arah laki laki itu dengan muka penasaran.
" Gue... Darren" Laki laki itu menjulurkan tangannya sama seperti orang mau kenalan.
" Lu kan udah tau nama gue. " Aku tertawa kecil kemudian kami bersalaman.
Darren juga ikut tertawa kecil saat itu. "Hmm, lu berdua tau dari mana kalau gue di parkiran sama Stefan? "
Netta melihat ke arah ku lalu melihat ke arah Darren. Sesaat suasana hening.
" Jadi gini, waktu gue bangun dari tidur, lu udah ilang tapi tas lu masih ada di ayunan. Gue panik, nyariin lu keliling sekolah. Trus ketemu Darren di lorong kantin, kebetulan gue kenal Darren, gue langsung tanya ke dia. Dia jawab gatau. Nah kebetulan pas gue lagi tanya, ada segerombolan cewek lewat bicarain tentang lu, katanya gini 'eh, Mela jadian lagi ya sana Stefan? Gue tadi gak sengaja liat mereka berduaan di parkiran' gue langsung panik, gue langsung tau apa yang terjadi sama lu. Gue panik juga takut, jadi gue ajak aja Darren ke tempat parkir. " Jelas Netta sambil memutar mutar handphone di tangannya.
Aku terdiam, membentuk mulut seperti huruf "o" Menandakan aku mengerti tentang cerita Netta.
" Tapi kok bis-" Omonganku terputus.
" Kok bisa gue kenal lu? Karena Netta sering cerita ke gue tentang lu, Netta juga pernah nunjukin foto lu ke gue. Gue juga tau waktu kejadian di kantin, ada temen cowok lu yang manggil lu 'Mela'. Awalnya gue ragu mau nolong karena takut salah orang, setelah temen lu manggil nama lu, gue jadi yakin kalau itu lu. Akhirnya gue tolong deh. " Jelas Darren yang memotong pembicaraan ku tadi.Aku mengangguk mengerti.
" Eh, gue pulang dulu ya. Papa gue udah di gerbang nih. " Sahut Netta yang terlihat panik.
" Sorry ya gue tinggal Mel, gue lupa kalau ada acara. " Netta memelukku kemudian berlari keluar ruang UKS.
Di ruang UKS hanya tersisa aku dan Darren, aku merasa canggung karena baru kenal dengan Darren. Tapi entah kenapa, aku rasa Darren tidak merasa canggung sama sekali malah terlihat santai. Darren melihat jam di tangan nya lalu tersenyum.
" Mau gue anter pulang? " Tanya Darren. Aku melihat ke arah jam dinding di UKS masih menunjukan pukul setengah 11.
" Gak deh, masih jam segini. Males pulang " Jawabku.
" Kalau gitu, pergi yuk. Mumpung masih jam segini. " Ajak Darren sambil berdiri dan mengambil tas-nya.
" Kemana? " Aku tidak menolak tawaran Darren kali ini. Karena, aku sendiri juga malas pulang dan gatau mau ngapain.
" Hmm, makan trus kita jalan. " Jawab Darren singkat.
" Jalan ke? " Tanyaku lagi. Darren tampak sedang berfikir, melihat ke arah ku beberapa kali dan kembali berfikir.
" Liat aja nanti, berguna kok tempatnya. " Jawab Darren lalu menarik tangan kanan ku yang tidak terluka.
Aku berdiri mengambil tas, sebenarnya aku tidak mengerti maksud Darren, tapi ya sudahlah.
Kami berjalan ke keluar UKS menuju tempat parkiran mobil.
Aneh, aku langsung percaya pada Darren saat dia mengajakku pergi. Semoga ini menyenangkan.
Kami memasuki mobil hitam milik Darren, dan tak lama setelah itu, mobilnya melesat keluar tempat parkir sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
MoodBoster [THE END]
Teen Fiction[THE END] *REVISI* " Bahagia itu, mirip ice cream. Sederhana, juga manis. Tapi jika ice cream itu mencair, maka akan berubah menjadi sebuah tangisan " Pertemuan pertama itu sangat berarti bagi Pamela. Dan pertemuan pertama itu juga mengubah dirinya...