Tears

15 1 0
                                    

     Suara decitan roda mobil berhenti di depan sebuah gedung putih tinggi. Pintu mobil terbuka lalu di tutup kembali dengan keras. Kali ini, suara derap kaki seseorang yang sedang terburu buru masuk ke dalam apartemen. Menghampiri perempuan dengan jas hitam yang sedang berdiri di balik meja sambil berbicara dengan seseorang.

     Prince melangkahkan kakinya menuju ke dalam apartemen, 

     "Permisi,  dimana kamar atas nama Brigitha Rachel?" tanya Prince pada wanita ber-jas jitam tadi.

     perempuan itu tersenyum lembut dan terlihat ramah, "Ada perlu apa anda menanyakan kamar nona Rachel? apakah anda keluarga? kalau memang ada keperluan, saya akan menghubungi nona Rachel terlebih dahulu."

     "Iya! saya keluarganya. Bisa saya tau dimana kamarnya?" tanya Prince lagi, nampak tergesa gesa.

     "Baiklah, saya akan menghubungi nona Rachel dulu kalau ada keluarga yang berkunjung." Perempuan ber-jas hitam itu mengangkat gagang telepon lalu menekan beberapa nomor. Belum sampai sambungan telepon terhubung, Prince sudah menarik gagang telepon itu.

     "Tolong, saya hanya perlu tau dimana kamar Brigitha Rachel." Prince menatap tajam perempuan ber-jas hitam itu dan malah membuatnya ketakutan. Wanita itu kembali meraih gagang telepon yang lain, dan menekan beberapa nomor dengan tergesa gesa. dia nampak ketakutan.

     "Saya bukan penjahat. tolong, ini penting. Beri tau saya nomor kamar atas nama Brigitha Rachel." Kata Prince lagi, menarik gagang telepon lain yang digunakan wanita itu yang sepertinya akan menghubungi petugas keamanan.

     "Maaf, untuk kenyamanan pelanggan kami, kami tidak bisa memberi tau nomor kamar pelanggan tanpa sepengetahuan pelanggan itu sendiri. itu sudah termasuk sebagai ke-"

     "Tolong! saya hanya perlu nomor kamar. Bukan informasi tentang layanan apartemen ini." Prince agak berteriak. Emosinya sudah berada di ujung tanduk.

     "Maaf, tapi kami ti-"

     "Mencariku?" tanya seseorang dari belakang yang mengejutkan Prince sekaligus menaikan emosi Prince dalam waktu yang bersamaan.

Rachel berdiri dengan tubuh basah kuyup juga make up yang sudah luntur di wajahnya. Tanpa basa basi, Prince menarik lengan Rachel dan membawanya menjauh dari tempat itu. Menjauh dari keramaian.

     "Lepas!" teriak Rachel, melepas paksa genggaman erat tangan Prince.

     "Heh! lo tau kan gue cari lo buat apa?! lo tau kan apa salah lo?!" Prince menunjuk nunjuk Rachel yang masih setengah menangis di depannya dengan penuh emosi.

     "Gue? Gue gak salah! Lo dan teman lo si genit Mela itu yang salah!" teriak balik Rachel, melototi laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya ini.

     Prince mendesis sinis, menyapu keringat di bawah hidungnya dengan tangan, "Lo bego atau gimana sih? Lo yang sengaja nabrak dia!"

Rachel menatap tajam Prince sambil beberapa kali menghapus air matanya yang sudah mengalir di pipinya. Wajahnya pucat, mungkin demam karena kehujanan di malam hari. Matanya merah dan sedikit membengkak karena sudah terlalu banyak menangis.

Prince bisa melihat kalau Rachel sekarang sedang tidak enak badan, tapi itu bukan masalah baginya. Karena nenek sihir di depannya sudah mencelakai sahabatnya hanya karena keegoisannya.

"Iya, gue memang sengaja nabrak mobilnya agar Darren gak bisa ketemu sama Mela. Tapi, kalau sampai buat Darren buta itu bukan salah gue! Gue hanya menabraknya dari belakang dan membuat mobilnya penyok. Gue gak ada niat sama sekali untuk membuatnya buta! Kalau memang gue sejahat itu, kenapa gue gak bunuh aja Darren sekalian? Atau kalau bisa gue mati bareng aja sama dia?! " bentak Rachel.

MoodBoster [THE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang