Prince melemparkan ponselnya di atas tempat tidur. Dia menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal dengan kedua tangan.
Malam itu, sudah menunjukan pukul 11 malam. Tidak ada bintang yang menyinari saat itu karena tertutup awan mendung. Angin kencang juga ikut menjadi pertanda akan turun hujan deras.
Prince menutup pintu teras atas agar angin tidak masuk ke dalam ruangan dan membangunkan Roy atau Davin.
Dia duduk di pinggir tempat tidur. Di pinjat keningnya pelan dengan jari.Prince baru saja terbangun karena ada panggilan masuk dari ponselnya. Cukup lama dia berbicara di telepon. Setelah sambungan telepon terputus, wajah Prince berubah muram.
Prince meraih ponselnya lagi. Memilih salah satu kontak di ponselnya lalu menekan tombol hijau.
Tak di jawab.Prince menghela nafasnya berat. Kembali dia melemparkan ponselnya di kasur.
" Hei. " Panggil seseorang dari belakangnya.
Prince berbalik, itu Roy. Sepertinya dia terbangun.
" Kenapa lo gak tidur? " tanya Roy menggosok gosok matanya.
" Tadi ada yang telfon gue. " Jawab Prince kembali memalingkan pandangannya pada pintu teras di depannya.
Roy mengerutkan keningnya. Dia merasa ada yang tidak beres dengan temannya itu. Dia memutuskan untuk menghampiri temannya itu. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi pada Prince.
" Kenapa lo? " tanya Roy yang kini duduk di samping Prince.
" Nothing." Jawab Prince cepat.
" Kenapa sih lo? " tanya Roy lagi.
Prince menghembuskan nafasnya berat.
" Ceritanya panjang. "" Gue dengerin. Lagi pula gue udah gak ngantuk. " Jawab Roy dengan yakin. Lalu tak lama tanpa sadar dia menguap dan langsung cepat cepat dia tutup dengan tangan berpura-pura batuk.
Prince menarik sudut bibirnya,
" Kagak pinter bohong lo. "Roy tertawa kecil," Udah gih cerita. "
Prince menghembuskan nafasnya panjang, kemudian dia mulai bercerita tentang apa yang ada di pikirannya.
Roy serius mendengar cerita dari Prince. Dan langsung mengerti maksud temannya itu.
" Trus, jadi masalah gara gara itu? " tanya Roy untuk memastikan bahwa kesimpulannya benar.
Prince mengangguk pelan," Iya, sekarang gue bingung. "
Roy mengusap bagian bawah hidungnya." Gue bantu. "
" Gue juga tau lo bakal bantu. Tapi caranya gimana? " Prince menggaruk garuk kepalanya.
Roy terdiam. Dia nampak sedang berfikir cara untuk menolong Prince. Sama dengan Prince yang nampak sedang berfikir.
" Ah gue tau. " Roy memetikan jarinya merasa yakin dengan sarannya.
" Apa? " tanya Prince bersemangat. Merasa senang juga, karena otak Roy berjalan di waktu yang tepat.
" Gatau. Kita telfon aja dia. Mungkin dia ada ide. " Jawab Roy dengan wajah tak bersalah.
Prince melayangkan bogemnya tinggi tinggi. Dia merasa menyesal karena telah percaya pada temannya itu. Dan ternyata otak Roy tidak ada pernah berjalan dengan normal.
Suara ponsel Prince berbunyi. Seketika seperti mematikan api emosi pada dirinya. Dia segera mengambil ponselnya lalu melihat siapa yang meneleponnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MoodBoster [THE END]
Teen Fiction[THE END] *REVISI* " Bahagia itu, mirip ice cream. Sederhana, juga manis. Tapi jika ice cream itu mencair, maka akan berubah menjadi sebuah tangisan " Pertemuan pertama itu sangat berarti bagi Pamela. Dan pertemuan pertama itu juga mengubah dirinya...