8 - Rumah

569 40 3
                                    

"Hwang Eunbi"
Aish.. kenapa orang ini ada disini.

"Kenapa kau disini? tidak pulang? Ini sudah sore dan aku tahu ini sudah jam pulang sekolah."
Sok tahu sekali dia. Walau memang ini sudah jam pulang sekolah, tapi dia tak berhak melarangku.

"Kau sendiri.. kenapa disini? Tumben kau pulang." Hawa dingin kembali menguasaiku. Ucapan sinis tanpa sadar keluar dari mulutku.

"Mm.. Ada yang..tertinggal di rumah."
Dia selalu begitu. Tak bisakah dia mengerti diriku. Memang yang dia lakukan itu juga untukku, tapi aku juga bisa merasa kesepian. Harusnya dia meluangkan sedikit waktunya untukku.

"Ayo pulang." Ia menarik tanganku agar menuju mobilnya. Aku berusaha menolak tapi percuma saja, aku tak bisa membantah ucapannya.

"Ah, dan kau temannya kan? Ayo ikut, sekalian kau bisa menemani adik kecilku ini." Kulihat Yerin unnie hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.

"Sica unnie,, aku bukan anak kecil lagi, jangan panggil aku begitu!"
Aku sangat kesal saat dia terus memperlakukanku seperti itu.

Jessica unnie adalah kakakku, satu-satunya keluarga yang ku punya. Ia yang bertanggung jawab atas diriku, mengurus semua keperluanku, dari makanan, pakaian, tempat tinggal, sampai sekolahku ia yang membiayainya. Namun resikonya, unnie menjadi sangat sibuk dengan pekerjaannya. Unnie bahkan jarang pulang ke rumah karena harus kerja lembur.

Aku merasa kasihan padanya, karena dia yang harus menanggung semuanya. Aku sangat menyayanginya, tapi karena situasiku aku lebih memilih untuk tidak memperhatikannya.

Percakapan kami juga terbatas pada kata-kata dasar layaknya housemate yang telah lama tinggal bersama tapi masih tak mengenal satu sama lain.

Aku selalu mengacuhkannya, tapi dalam hatiku ingin sekali bercerita banyak hal dengannya. Ingin berdebat dengannya, dipeluknya, bercanda bersama seperti dulu sewaktu aku masih kecil.

Tapi kini berbeda, aku tak bisa lagi melakukannya karena bahkan untuk bertemu saja sulit. Aku harus melakukan semua hal sendiri. Inilah alasanku terbiasa hidup tanpa orang lain.

Kini kami sudah sampai di depan mobilnya. Tangannya yang sejak tadi menyeretku agar mengikutinya akhirnya terlepas juga. Sementara Yerin unnie, dia daritadi mengikuti di belakang dalam diam.

Sica unnie menuntunku untuk duduk di sampingnya, tapi aku memutuskan untuk duduk di belakang bersama Yerin unnie.

"Kau ingin menjadikanku seperti supirmu huh?" Sica unnie melayangkan protesnya.

"Kau memang supirku."

"Yah! Bagaimanapun juga aku ini kakakmu. Seenaknya saja memanggilku supirmu."

"Ku tarik kata-kataku. Kau bahkan tak pantas ku panggil begitu. Apa kau pernah mengantarku?"

Skakmat.

Itu kenyataan, karena kemanapun aku pergi, aku selalu sendiri. Walaupun biasanya si kelinci kecil Una yang selalu menawarkan diri untuk menemaniku.

"Maaf.." Ah, aku tidak suka kalau dia sudah meminta maaf. Suasana pasti akan menjadi canggung.

Aku tidak bermaksud melakukannya, tapi dia sekarang pasti sedang merasa bersalah. Aku juga ingin minta maaf dan berterima kasih padanya, tapi kata-kata itu sulit sekali keluar sari mulutku. Rasa kecewa dan egoku jauh lebih besar.

"Sudahlah.. itu bukan salahmu."

Suasana menjadi sepi. Yerin unnie juga tak mengatakan sepatah kata apapun dan hanya terdiam mendengar percakapanku dengan Sica unnie.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang