“Eunbi-yah?”Waktu tiba-tiba saja berhenti berjalan di sekitarku, begitu juga dengan tubuhku yang mendadak berhenti di tempat. Aku masih dalam keadaan duduk sekarang, merasakan sedikit tekanan di bahu kiriku yang tidak sengaja ku gerakkan tadi. Meringis, mungkin seperti itulah ekspresi wajahku. Tapi, lebih parahnya lagi, aku tidak sendiri lagi sekarang. Ada yang melihatnya.
Kenapa Sica unnie tiba-tiba ada disini?
Ia yang membangunkanku dari mimpi burukku, tapi ia juga yang membuat mimpi buruk lainnya. Saat orang yang ku tunggu datang, aku justru bingung dengan apa yang harus ku lakukan.
“Kenapa kau disini?” Ia benar-benar ada di depanku, berbicara padaku, di hadapanku, tepat di depan mataku. Sica unnie menundukkan sedikit badannya agar bisa sejajar dengan tubuhku yang tengah duduk di sofa sekarang.
Aku masih berkedip. Satu kali, dua kali, berulang kali, dan entah berapa kali, tapi aku masih tak bisa menjelaskan apa yang dilihat oleh kedua mataku sendiri. Pikiranku bertanya-tanya seperti kenapa unnie bisa ada disini? Sejak kapan Sica unnie berada disini, dan entah sampai kapan ia akan terus menatapku dengan tatapan tidak jelasnya itu.
“Tidurlah di kamarmu.” Tapi, ada apa dengan nada bicaranya itu. Berbeda dari saat ia memanggil namaku, kata-katanya barusan tidak mempunyai semangat atau bahkan ketertarikan yang cukup untuk ku sebut peduli.
Aku merasa seperti sedang kembali ke masa-masa dimana aku membuatnya menjatuhkan gelas, lalu unnie memarahiku dengan sadis sampai membuatku menangis. Ia menggunakan nada itu, tapi lebih tanpa ekspresi, dan itu menyeramkan.
“Unnie lelah. Aku juga ingin tidur, matikan lampunya saat kau sudah masuk kamar.” Ia berbalik meninggalkanku yang sekarang hanya bisa melihat bagian belakang dirinya.
Kemana perginya Sica unnie yang lembut dan hangat. Aku tahu, dingin sudah merupakan jati dirinya, dan ia juga disebut sebagai ice princess untuk sebuah alasan. Hal itu sudah biasa, tapi mendapatkan hal itu secara live darinya, rasanya lain dengan hanya melihatnya saja.
Kurasakan sepertinya ia kembali ke zaman saat masa-masa sekolahnya dulu, lebih tepatnya setelah kita hanya tinggal berdua.
Ya, saat itu rasanya seperti rumah ini dihadapkan dengan musim dingin sepanjang tahun. Kita berdua sama-sama diam, canggung, dan terus berlanjut sampai entah kapan. Namun, lama-kelamaan, aku juga tak tahu bagaimana, es dalam dirinya perlahan-lahan mencair. Ia mulai mengajakku bicara, makan bersama, dan hal-hal yang dilakukan orang yang bersaudara.
Tapi, entah ada apa saat itu, bagaikan virus yang menular, sosok dingin yang sedikit ia hilangkan rasanya berpindah kepadaku. Justru akulah yang mengabaikannya, dan berusaha sebaik mungkin untuk tidak bergantung padanya. Banyak alasan yang bisa menjadi faktor perubahan itu, tapi aku juga tak bisa menjelaskan secara pasti apa sebabnya. Karena jujur, aku juga tak tahu.
Kita berdua aneh. Hanya itu yang ku tahu sekarang. Kenapa dia memiliki sifat dinginnya lagi padahal sekitar entah beberapa waktu yang lalu kita bersikap layaknya memiliki hubungan yang sangat dekat.
Tapi sekarang, kita hanya berjarak beberapa meter saja, namun rasanya ada sebuah penghalang besar tak terlihat yang memisahkan. Lebih dari seminggu ia menghilang, lalu kembali dengan sifat seperti itu? Kepalanya terbentur sesuatu atau apa?
“Unnie!” Baik, aku berteriak. Tak ada hal lain yang bisa ku pikirkan. Aku butuh penjelasan dan hanya ia yang bisa menjawab. Jadi aku berusaha mengikutinya yang sama sekali tak menunjukkan rasa perhatian sedikitpun dengan kondisiku. Tapi aku pun tak peduli. Telah ku kumpulkan keberanianku, sekarang atau tidak sama sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tembok Es
Teen FictionSetelah kau pergi, aku membangun tembok es tinggi di sekitarku. Baru ku sadari, rasa dingin ini menyiksaku. Akankah kau kembali dan menghancurkan tembok ini ? Hangatkan aku lagi.. My Buddy...