3 - Ruang UKS

753 58 4
                                    

Setelah 3 menit, alunan musik di telingaku berhenti. Tanganku berniat ingin meraih smartphone di saku jaketku untuk mengganti lagunya, namun ku urungkan setelah aku mendengarkan suara dua makhluk kurang tinggi yang ku anggap teman itu.

Meskipun mataku tertutup, tapi telingaku masih terbuka lebar untuk mendengarkan obrolan mereka.

Dengan earphone yang masih menempel di telingaku, mereka tidak akan mengira kalau aku bisa mendengar suara mereka.

Tidak akan ada yang tahu kalau dari tadi musik yang ku dengarkan sudah berhenti dan berganti dengan suara mulut mereka.

Bukannya ingin menguping, aku hanya ingin tahu apa yang dibicarakan oleh kedua makhluk yang baru saling kenal itu. Aku ingin tahu bagaimana cara memulai untuk menjadi dekat dengan orang baru, karena aku selalu buruk dalam hal itu.

“Sudah berapa lama kau mengenal Eunbi?”
Hah.. mereka justru membicarakanku. Awas saja kalau membicarakan hal-hal buruk tentangku.

“Sejak kami kelas 6. Kenapa?”

“Tidak. Kau sepertinya dekat dengannya.”

“Hm.. bisa dibilang begitu. Kami sangat dekat, bahkan nama kami sama.” Iya Eunha unnie, sangat dekat. Sampai setiap kali betemu aku ingin sekali memukulmu.

“Kau sendiri? Aku tidak pernah melihatmu.”

“Aku mengenalnya sejak kecil dan kami selalu satu kelas. Tapi aku dan Eunbi tidak lulus bersama, karena aku pindah ke luar kota saat kami kelas 5.”

“Oh, pantas. Tapi, selama 4 tahun aku mengenalnya, dia tidak pernah menceritakan apapun tentangmu.”

“Eunbi memang tipe orang yang tidak mudah terbuka pada orang lain. Tapi aku senang dia berteman denganmu. Aku takut dia tidak memiliki teman.” Aku masih punya teman Umji-yah.

“Kau pasti sangat mengenalnya. Kukira hanya aku yang betah dekat dengan si kulkas itu.” Kelinci kecil itu, masih bisa-bisanya membuatku marah. Apa? Kulkas? Kau memang ingin dibekukan huh.

“Haha.. terimakasih sudah mau menemaninya saat aku tidak ada di sampingnya. Kita tak pernah bertemu selama 4 tahun ini, aku juga terkejut saat tahu dia bersekolah disini. Jujur aku merindukannya,” Aku juga merindukanmu jempol kecilkuu. Kau hanya tidak mengetahuinya.

“Aku tahu kalau dia juga merindukanku. Hanya saja dia terlalu gengsi untuk mengakuinya.” Ku tarik kata-kataku. Apa Umji bisa membaca pikiran? Apa Eunha telah menularkan virusnya?

“SinB.. Dia itu susah ditebak dan sulit untuk didapatkan. Setiap hari aku mencoba untuk memeluknya tapi selalu gagal karena seakan terhalang oleh Tembok Besar Cina. Bahkan untuk bergandengan tangan saja rasanya seperti aku harus naik-turun Gunung Fuji 15 kali.” Kau selalu berlebihan Eunha-yah. Tapi tak apa, lain kali kau akan ku damparkan di Gurun Sahara biar otakmu yang beku itu encer.

“Bukan kau saja. Selama aku mengenalnya, kami hanya pernah sekali berpelukan dengan eunbi tidak memberontak dan hanya diam.

Saat itu adalah sehari sebelum kepindahanku dan bertepatan dengan ulang tahunku, tapi dia lupa membawa kado. Akhirnya, aku berpura-pura marah padanya dan bilang akan memaafkannya jika dia memelukku.

Dengan terpaksa dia memelukku lalu menunjukkan aegyonya ‘maafkan eunbi yewonniee, jangan marah ya’, owh dia sangat lucu. Saat akan melepaskan pelukannya, justru dia ku peluk erat. Sungguh itu momen terdekatku dengannya.”

Sungguh sekarang aku menyesal melakukannya. Dia membodohiku? Bahkan aku menyempatkan waktuku yang berharga untuknya.

Saat dia memelukku, aku selalu melihat ke arah jam tanganku. Dia bilang sebentar tapi aku baru bisa melepaskan diri setelah 5 menit. Sekali lagi, FIVE MINUTES!! Aku berdiri diam seperti orang bodoh di pelukannya.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang