26 - Bantuan

338 28 17
                                    

“Eunbi-yah.” Baru selangkah kakiku keluar dari ruangan kecil ini, kudengar seseorang memanggil namaku. Nama asliku.

Mataku terbuka lebar mendengarnya, terkejut karena ku kira sudah tidak ada orang disini.
Kepalaku berputar mencari suara orang itu. Tak perlu lama, karena dia sekarang sudah ada di depanku.

“Oh.. Ye-yewon-ah. Kau disini? Sejak kapan?” Aku tidak tahu kenapa, tapi aku mendadak bersikap gugup di depannya.

“Sejak tadi. Saat Eunha unnie mengajakku kemari lalu meninggalkanku disini.” Dia terlihat kesal dan aku terlihat bodoh sekarang.

“Ah.” Aku mengangguk-anggukkan kepalaku, berjalan ke arah wastafel dengan cermin di atasnya. Tak tahu harus mengatakan apa, bahkan pada teman dekatku ini.

“Kau kenapa?”

“Hah?” Aku bingung dengan pertanyaannya. Apa rasa kesal bercampur penasaranku ini terpampang nyata di wajahku?

Aku menoleh ke arahnya yang berada di sampingku. “Aku tidak apa-apa.” Lalu kembali beralih, fokus mengalirkan air ke tanganku untuk ke sekian kalinya.

“Aku bertanya kau kenapa, bukan apa kau tidak apa-apa.” Pintar. Susah memiliki teman yang terlalu pintar. Perkataanku akan selalu dengan mudah dikalahkannya. Aku juga telah menyesal mengeluarkan kata-kata itu tadi.

Tanganku berhenti bermain dengan air, mataku terus berkedip, udara terus berebut masuk ke dalam paru-paruku.

“Sekarang katakan, apa yang membuatmu tidak apa-apa?
Umji mendekatiku, berdiri di sampingku dengan satu tangan bersandar pada pinggiran wastafel.

“Maksudmu?” Ku matikan keran air itu, beralih dengan mengambil sabun cuci tangan untuk mengalihkan sedikit perhatianku.

“Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”

“Satu-satunya yang menggangguku saat ini adalah kau Umji-yah.” Tanganku tetap melanjutkan kegiatannya dan kepalaku sedikit menoleh ke arah teman pendek yang ku panggil jempol kecil ini. Berusaha menampakkan ekspresi biasa dan tak ingin terbawa perasaan dan suasana.

“Benar tak ada hal lain?” Hah... dia tidak akan berhenti jika aku belum menjawabnya.

Tanganku sudah selesai dengan aktivitasnya. Kini saatnya tubuhku yang berputar sedikit menyesuaikan posisiku dengannya. Berhadapan, suasana sepi, dan ku yakin kali ini tidak ada orang lain.

“Baiklah, kau memang selalu menang Umji-yah.” Sepertinya aku harus mengatakannya. “Aku bertengkar dengan Eunseo.” Tak ada kata-kata lain di otakku selain mengatakan hal itu. Lagipula itu bukan kebohongan, dan itu juga memang sedikit mengganggu pemikiran di otakku.

Terkadang, jika ingin menyembunyikan sesuatu yang besar, kau harus memberitahukan sesuatu yang kecil.

Aku tidak tahu bagaimana ekspresinya karena badanku sudah berbalik kembali ke posisi awal saat aku tak melihatnya. Aku juga tak tahu kenapa, tanganku sudah memegang keran wastafel dan bermain air (lagi). Entah sudah berapa kali aku mencuci tanganku.

“Kenapa?”

“Aku tak ingin membahasnya.” Sepertinya ini kesempatanku untuk keluar dari situasi ini. Yewon tahu persis kebiasaanku, dan ia hanya akan membiarkanku mengurus masalahku sendiri tanpa perlu campur tangan atau nasehat-nasehat darinya.

“Sepertinya tanganmu berkata lain.” Tapi kali ini tidak. Ia meraih kedua tanganku, mematikan keran itu dan membuat tubuhku berputar untuk menghadapnya. Aku sedikit terkejut dengan apa yang dia lakukan, tapi tetap berusaha menormalkan ekspresi wajahku.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang