28 - Batu

312 30 12
                                    

“Hahahahahaha......”

“Hah?” ???????

Belum selesai jantungku berpacu, lagi-lagi aku dibuat bingung dengan sikapnya.

Setelah mengatakan hal semacam itu padaku, ia justru tertawa?

Tunggu, aku merasakan hawa-hawa tidak enak.

Jadi, dia...

“Yah! Kau menipuku?!?” Eunseo si bocah seomay masih menyelesaikan tawanya yang belum habis, sedangkan aku kini mulai merasa kesal setelah menyadari situasi.

“Ekspresimu sangat lucu.. Hahaha...”

“Yah! Berani-beraninya kau membohongiku hah!”

“Ah..hahaha..haha....” Lihat, betapa puasnya dia sekarang. Tanganku kini pun mulai mengahantamkan segala macam benda ke arahnya sebagai bentuk rasa marahku.

“Kalian yang ada di depan! Daripada mengganggu, lebih baik keluar!”
Secara serentak, kami berdua langsung menghentikan kegiatan tawa tertawa serta pukul memukul yang tadinya berlangsung dengan sengit.

Matilah aku, sepertinya kita memang terlalu berani membuat kerusuhan dengan tempat duduk yang berada di bangku paling depan, ditambah tepat di depan meja guru. Sungguh benar-benar seperti menggali kuburan sendiri.

“Tapi bu..” Eunseo yang telah menghentikan aksinya sepertinya mencoba untuk membujuk guru itu agar kita berdua tidak dikeluarkan.

“Tidak ada tapi. Keluar!” Tapi percuma, kita memang begal. Benar-benar gagal, bahkan sebelum mencoba membujuknya.

Akhirnya kami berdua terpaksa keluar. Tepat sekali, aku memang ingin menghajarnya habis-habisan saat ini juga. Jika diluar, tidak ada yang menghalangi bukan?

“Tunggu.” Apa lagi yang diinginkan guru itu. Baru saja melangkahkan kaki, ia menyuruh kami berhenti.
“Siapa suruh keluar tanpa barang. Kerjakan tugas itu diluar!”

Tak ingin melakukan protes, karena sudah tahu akan seperti apa hasilnya, kami kembali lagi untuk mengambil buku yang menjadi sumber masalah itu. Tentunya dengan aku yang kembali mengungkapkan rasa kesalku padanya.

“Itu salahmu.” Kakiku terus menendangnya, tapi tidak terlalu keras agar dia tidak terjatuh.

Aku masih mempunyai rasa baik hati, walaupun jujur aku ingin sekali melihatnya jatuh tersungkur disini.

“Salah sendiri mudah sekali ditipu.”

“Yah! Kalau tahu begitu, aku tidak akan mempedulikanmu.”

“Haha.. peace.” Dia menaikkan 2 jarinya ke udara, membuat tanda perdamaian tapi masih dengan ekspresi menyebalkan.
“Aku memang benar-benar marah padamu, tapi itu hanya kemarin. Setelah melihatmu tadi, aku merasa kasihan saat membawa buku-buku itu sendiri. Lagipula menyenangkan juga mengerjaimu.”

“Kau cari mati denganku rupanya.”

“Seharusnya kau berterimakasih padaku. Karena dengan begitu kau kan bisa jalan bersama Yerin sunbaenim.” Ia mengangkat kedua alisnya dengan ekspresi menggoda, dan itu sukses membuatku bertambah kesal padanya.

Tanpa lelah, aku terus mengejarnya yang berlari-lari seperti anak kecil menghindari setiap seranganku. Berkali-kali ia menabrak tempat sampah di lorong depan kelas ini, dan berkali-kali juga ia hampir terjatuh dan mencium tembok.

“Eunbi-yah!” Suara dari seseorang yang sudah lama ku kenal menghentikan aksi kejar-kejaranku.

Nyawamu selamat kali ini Son Juyeon.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang