20 - Jibang

406 31 7
                                    

Hari yang tak ingin ku temui akhirnya datang juga. Seperti yang dikatakan atau lebih tepatnya diperintahkan Pak Jiyong, aku harus mengikuti latihan bersama tim lari sekolahku.

Kalau difikir-fikir lagi, memang tak ada yang salah dengan itu. Karena masalahnya ada pada diriku sendiri. Aku terlalu malas untuk bertemu dengan orang baru, memikirkannya saja sudah membuatku merasa akan canggung dengan suasananya nanti walaupun hal itu belum benar-benar ku alami.

Paling tidak seharusnya aku tak perlu terlalu khawatir karena tempat latihan juga masih berada di sekolah. Akan lebih tidak nyaman bagiku jika berada di tempat yang baru bersama orang yang baru pula. Setidaknya sekolah adalah tempat yang lumayan ku kenal, walaupun entah kenapa aku masih sering saja lupa jalan keluarnya.

Tapi disinilah aku sekarang, berdiri di depan cermin setengah badan yang ada di kamarku. Mengamati apa yang kurang dari diriku, penampilan luar juga dalamnya. Rasa kurang percaya diri masih sering muncul tanpa ku suruh dan di waktu yang tak ku inginkan.

Walaupun terkadang aku bisa bertingkah bodoh dan mungkin aneh menurut orang-orang di sekitarku, tapi hal itu justru tidak keluar saat aku bertemu dengan suasana baru yang seharusnya bisa di cairkan. Jika itu terjadi, aku mungkin hanya akan diam seperti manekin yang tak ingin bicara lalu menyibukkan diri dengan menghitung ulang jari tanganku ratusan kali.

Setelah sibuk dengan pikiranku, akhirnya tanganku beranjak meraih tas punggungku  lalu bergegas keluar rumah yang sebentar lagi akan kesepian tanpa ada tanda-tanda manusia di dalamnya.

Dimana Sica unnie? Tentu saja dia sedang ada di tempat kerjanya sekarang. Mungkin ia adalah tipe orang yang tak bisa diam di rumah, karena setelah pulang dari rumah sakit, unnie bahkan hanya beristirahat di rumah selama sehari dan kembali bekerja keesokan harinya. Berbeda denganku yang sangat menyayangi sepasang bantal dan guling di kamarku.

Tapi baru beberapa langkah kakiku berjalan keluar dari tempat yang ku panggil rumah, langkahku terhenti setelah merasakan getaran di saku celana olahraga ku.

-Una kawai unnie is calling-


Tanpa berpikir aku langsung mematikannya, tidak berniat sama sekali untuk mengangkatnya.

Mungkin sekarang dia sedang marah-marah disana, tapi aku tidak suka jika mendapat telfon dari seseorang, apalagi dengan posisiku sekarang yang berada di jalan.

Namun aku baru menyadari sesuatu setelah berjalan beberapa meter. Selama aku kenal dengannya, Eunha unnie tidak pernah sekalipun menelfonku. Ia hanya akan mengirim pesan panjang kali lebar kali tinggi dalam bentuk teks maupun suara. Kalau aku belum membalasnya, ia akan mengirim ulang pesan yang sama berkali-kali sampai aku meresponnya

Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sebentar dan mengirim pesan padanya.

?


Itu adalah pesanku. Simpel bukan?

Tak perlu berkata banyak karena ku yakin Una unnie sudah mengerti maksudku.

Walaupun nanti ia pasti akan memarahiku dan berkata ‘Kenapa kau membuang-buang pulsamu dengan mengirim 1 kata atau bahkan 1 huruf saja?! Buatlah dengan sedikit panjang! lagipula biayanya juga sama saja.’

Tapi biarlah, aku justru senang melihatnya marah-marah.

••••••

Akhirnya aku sampai di depan sekolahku. Tapi sampai saat ini belum ada pesan balasan dari Una unnie. Awas saja, aku juga akan mengabaikan pesannya nanti.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang