13 - Khawatir

621 36 0
                                    

Aku benar-benar terkejut dengan apa yang terjadi di depanku. Kulihat seseorang yang berjalan dengan langkah gontai tanpa sadar menabrakku. Ia seperti kesulitan bernafas, dan jika ku perhatikan hampir seluruh bagian tubuhnya terlihat memerah.

Aku merasakan tubuhnya yang lemah tak sanggup berdiri lagi. Kedua tanganku berusaha menopangnya dan memanggil-manggil namanya, mencoba berbagai cara agar bisa membangunkannya. Namun mulutnya yang tetap diam dengan mata yang tertutup membuatku bertambah panik.

Bagaimana aku tidak panik jika orang yang sedang dalam keadaan lemah dan sekarang tak sadarkan diri ini adalah temanku, teman dekatku, sahabatku, bahkan hampir seperti saudaraku, atau apapun hubungan yang sekarang mungkin sedikit renggang dan canggung ini.

Kenapa harus seorang Hwang Eunbi yang selalu terjatuh di pelukanku, terlihat lemah di depanku, suatu keadaan yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Aku benar-benar tak bisa berfikir jernih sekarang, tanpa sadar mataku sudah berair hanya dengan melihat pemandangan di depanku. Seolah ada yang menusuk tepat di jantungku, aku juga ikut merasakan sesak di dadaku. Ini bahkan tak seperti saat pertama kali aku melihatnya pingsan setelah beberapa tahun tak bertemu.

Kondisinya saat ini terlihat lebih buruk dari kemarin. Ada bercak merah di tubuhnya dengan suhu tubuh yang panas setelah aku menyentuhnya.

Dari yang pernah kubaca ini adalah ciri-ciri dari alergi, dan jika tidak cepat ditangani akan berakibat buruk. Aku sudah tidak bisa membayangkannya, kurasa kekuatanku tak bisa keluar dengan maksimal bahkan hanya untuk mengangkatnya.

“SinB-yah!!!” Aku melihat ke asal suara itu, ada orang lain yang berlari kesini. Dan dia adalah Eunbi atau sekarang harus ku panggil Eunha, serta Umji dan satu orang lain yang tak ku kenali.

“Yerin-ah. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit!! Alerginya kambuh.” Benar seperti yang ku duga.

Kini mereka membantuku untuk mengangkat Eunbi yang lagi harus ku gendong di punggungku. Aku tak keberatan melakukannya, tapi aku tak ingin menggendongnya lagi dengan keadaan yang seperti ini.

“Maafkan aku, aku tak tahu kalau dia punya alergi. Aku bersalah, maafkan aku. Aku bahkan baru sehari berteman dengannya dan keadaannya sudah seperti ini. Maaf, aku...”

“Tak perlu minta maaf, yang penting sekarang adalah keadaannya. Soal itu nanti saja, aku yakin kau tidak sengaja melakukannya.” Umji masih menjadi orang yang dulu ku kenal. Sikap tenangnya menutup kenyataan bahwa dia yang paling muda di antara kami.

Aku berjalan dengan Eunbi di punggungku, mungkin sedikit berlari, sementara Eunha dan yang lainnya mengikuti di belakangku.

“Tapi bagaimana cara membawanya ke rumah sakit? Kita tak memiliki kendaraan.” Perkataan Eunha membuatku kembali ke kenyataan. Aku tak memikirkan hal itu sama sekali, bahkan aku siap untuk menggendongnya terus sampai ke rumah sakit, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Eunbi butuh penanganan cepat.

“Terlalu lama jika minta izin pada guru, kita harus bagaimana?” Umji sedang memikirkan cara yang terbaik dengan langkah mereka yang terus berjalan.

“Ah, tunggu sebentar.” Umji berhenti membuatku tak bisa bersabar lagi. Aku hanya ikut berhenti dan menunggu apapun yang dia lakukan. Ia mengotak-atik telefon genggamnya, dengan kedua jari tangan lincah menyentuh layarnya, seperti mengirim pesan yang entah dia tujukan pada siapa.

“Aku sudah mengabari Sowon unnie, dia di parkiran sekarang. Ayo!” Tanpa pikir panjang aku berjalan, ralat berlari menuju tempat parkiran dan melihat Sowon unnie sudah berada disana.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang