30 - Misi

300 28 23
                                    

Pagi yang indah bukan berarti sisa hariku juga akan berjalan lancar. Hubunganku dengan Eunseo memang sudah baik-baik saja, dan kita tentunya masih sering bertengkar, mendebatkan hal-hal tidak penting seperti biasanya. Eunha unnie juga, saat kita bertemu walaupun satu detik saja, pasti akan mengakibatkan perang dunia untuk kesekian kalinya.

Yerin unnie masih menyeretku seperti biasa, terkadang juga ditemani Sowon sunbae si tiang bendera jika tidak ada tanda-tanda dari keberadaan si alien Yuju Choi. Tapi Umji? Aku tak melihat tumpukan buku-buku tebalnya beberapa hari ini. Hah~ mungkin saja dia lebih senang berkencan dengan buku-bukunya itu daripada memberi nasehat-nasehat yang lebih terdengar seperti menjatuhkanku itu. Entahlah, siapa tahu.

Dengan teman sekelasku? Sepertinya aku sudah mulai terbiasa bersama-sama mereka. Tapi ya terkadang masih ada sedikit rasa canggung, apalagi saat berkumpul dengan tiga orang atau lebih, dan aku hanya mendengarkan tanpa bisa masuk ke pembicaraan mereka. Aku hanya diam, memikirkan apa yang nantinya akan aku katakan. Tapi saat aku sudah siap mengatakannya, mereka merubah alur pembicaraannya, topik yang berbeda. Alhasil kata-kata itu hanya tersimpan saja lagi di otakku.

Sudah sering aku merasakan hal itu, tapi aku tidak bisa berbohong dengan berkata kalau aku tidak terganggu dengan itu. Jujur saja, itu masih terkadang menggangguku. Walaupun pikiranku terus berkata untuk tetap tenang, dan mulutku mengucapkan bahwa semua baik-baik saja, tapi hatiku terus resah tak karuan. Entah ada apa dengan diriku aku juga tak tahu.

Seperti saat ini, aku dihadapkan dalam suasana yang cukup canggung, tidak bagi orang lain, tapi sangat iya bagi diriku sendiri. Aku sedang berjalan keluar gedung sekolah ini karena memang sudah jam pulang, dan sendiri seperti biasa, melewati banyak orang tentunya. Aku tak mengharap bertemu orang yang ku kenal, karena aku tak ingin berhenti dan menyapanya. Jangan salah paham, aku hanya terlalu canggung untuk melakukan itu.

Tapi apa yang ku dapat, di jarak sekitar 5 meter dari tempatku berdiri, kulihat orang yang ku tahu tapi tidak terlalu ku kenal.

Lee Halla, aku tahu namanya, tahu orangnya, tapi tidak begitu mengenalnya. Memang dulu kita pernah satu kelas saat sekolah menengah pertama, 3 tahun lamanya. Tapi ya seperti itu, ia tidak punya niat untuk mendekatiku, begitu juga denganku. Mungkin salah satu faktornya adalah karena tempat dudukku dulu yang berada di sudut belakang utara dengan Eunha unnie tercinta, sementara dia berada di sudut depan paling selatan.

Halla sepertinya anak yang pendiam, atau mungkin memang karena aku yang jarang mengajaknya bicara. Sedangkan aku? Entahlah, kata orang aku pendiam dan aku mulai mempercayainya. Benar juga, kata-kata yang dikatakan terus menerus rasanya seperti sugesti, dan tanpa sadar ku lakukan lalu menjadi kenyataan yang terjadi sekarang.

Dan kini, kenyataan semakin mendekat, Lee Halla maksudnya. Aku tidak mungkin berbalik karena hal ini, Hwang SinB bukan pengecut, tapi kenapa hal semudah dan setidak penting ini bisa menggangguku. Aku harus paling tidak tersenyum kepadanya, jika tidak, mungkin saja aku akan dianggap sombong olehnya. Harus ku akui, seberapa banyak aku mencoba untuk tidak mempedulikan apa kata orang, aku tetap akan mengkhawatirkan apa yang akan dipikirkannya.

Jadi sekarang, ku tempelkan sebentar senyum di bibirku, menghadapkan wajahku sedikit untuk melihatnya. Namun sepertinya dia sibuk dengan dunianya sendiri. Tapi bagaimanapun juga, aku pernah satu kelompok dengannya. Maka dari itu, dengan sedikit percaya diri, aku coba menyapanya.

“Yah!“

Krik

Krik

krik

“Yah sudahlah.” Suara tanpa tenaga, senyum mulai turun, dan orang itu tak menyadarinya. Berjalan berlalu saja seolah matanya sudah terfokus ke arah layar benda menyebalkan yang dipanggil handphone. Terkutuklah benda keramat itu.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang