“Yah! Bangun!! Oii, tembok cinaa!” Orang disampingku ini terus menggangguku dengan menggoyang-goyangkan tubuhku. Jangan lupakan suara teriakan yang dikeluarkan oleh mulutnya itu.
Tak bisakah ia membiarkanku tenang sedikit.
“Yah! Ada guru masuk!” Mendengar itu aku terpaksa mengangkat kepalaku. Mencari sosok guru yang ia katakan itu.
Tapi hasilnnya nihil. Aku tak menemukan siapapun di depan kelas, apalagi guru atau entah siapa yang dibicarakannya.
Pandanganku beralih ke arah orang sok kenal yang berstatus sebagai teman sekelasku ini.
“Akhirnya kau bangun juga.” Mata sharinggan klan uchiha seketika bangkit mengetahui ia membohongiku.
Melihatnya tersenyum justru semakin membuatku kesal. Tapi aku tak ingin melakukan pemborosan kata dengannya karena ini masih pagi dan aku juga belum mengenalnya. Kita saja baru bertemu kurang dari setengah jam yang lalu.
Kini kepalaku kembali menempel ke meja di tempat semula dengan aku yang kembali memunggunginya.
“Hei, maaf. Yah! Apa kau marah?” Lagi, orang ini mengganggu aktivitasku.
Sebenarnya aku tak benar-benar pergi ke dunia mimpi. Hanya memejamkan mata dengan mengharapkan suasana tenang. Cuma kebetulan saja kepala ini juga terasa berat untuk disangga dan akhirnya terjatuh nyaman di atas meja.
Aku hanya masih tak terbiasa dengan keramaian walaupun hal itu tentunya selalu ku alami setiap hari. Itu hanya sebagai pengalih perhatianku, karena aku tak perlu peduli dengan apapun jika aku tak melihatnya.
Aku tumbuh dengan karakter seperti itu, hanya akan peduli dengan apa yang memang aku pedulikan. Selain itu, yang lain hanyalah seperti figuran dalam cerita hidupku.
Mungkin sedikit sulit untuk memasukinya, karena tembok ini terlalu tebal untuk dihancurkan. Dengan segala pengalaman yang telah ku alami, masih sangat sulit untuk keluar dari sana.
Aktivitas yang jika dilihat orang seperti tidur ini hanyalah sebuah perisai. Aku tak ingin orang lain menggangguku, mengusik hidupku yang sudah seperti tak berbentuk ini.
Aku memang masih muda dan jalanku juga masih panjang, maka dari itu aku butuh seseorang untuk menemaniku melewati semuanya. Pergi dari masa lalu dan menuju masa depan yang semoga menjadi lebih cerah.
Aku memang terlalu memikirkannya, walaupun diluar aku tampak baik saja seolah aku tak mencemaskan apapun. Tapi ditengah keheninganku ini, tersimpan beribu pemikiran yang tak bisa ku ungkapkan.
Dan saat orang disebelahku yang sampai saat ini masih belum ku ketahui namanya membohongiku, ingin rasanya aku marah padanya sebagaimana reaksi orang lain yang akan marah jika dibohongi. Walaupun masalah kecil, tapi itu merupakan sikap yang normal. Aku juga ingin melakukan itu, tapi aku tak bisa.
Aku benar-benar tak tahu bagaimana caranya marah dengan seseorang. Aku terlalu sibuk marah dengan diriku sendiri sampai-sampai aku tak bisa melakukannya pada orang lain.
Rasa emosi dan kesal yang sering ku keluarkan hanyalah sedikit cara untuk melampiaskannya. Namun itu hanya kulakukan pada orang yang ku kenal. Aku berusaha bersikap baik kepada orang lain, walaupun itu tak selalu berjalan dengan baik.
“Yah! Bangun! Ada Sowon sunbaenim!”
Terlalu sibuk bertengkar dengan pikiranku membuatku seolah tak mendengarkan berbagai kicauan yang diberikan oleh orang sok kenal ini.
Perasaan tak ingin tertipu lagi membuatku tetap merekatkan kepalaku di meja sambil berusaha menutupi wajahku.
“Hei.. Aku seriuus. Apa kau ingin dihukum olehnya? Yah! Tembok Cinaa!” Sepertinya ia benar-benar serius dengan perkataannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tembok Es
Teen FictionSetelah kau pergi, aku membangun tembok es tinggi di sekitarku. Baru ku sadari, rasa dingin ini menyiksaku. Akankah kau kembali dan menghancurkan tembok ini ? Hangatkan aku lagi.. My Buddy...