34 - Petir

374 33 29
                                    

Suara hujan lagi-lagi menggangguku. Menganggu tidurku tepatnya. Petir untuk kesekian kalinya menyambar, membuat mataku langsung terbuka lebar. Berusaha menutupkan selimut dan memeluk guling serta meringkuk di dalamnya seperti biasanya. Tapi dengan kondisi tangan dan kakiku yang memprihatinkan semua itu tak bisa ku laksanakan. Berbaring dan bernapas, itulah kegiatanku sekarang.

Kilatan putih di luar terlihat dari jendela kamar yang lupa ku tutup. Rasanya hal itu seperti bisa masuk, seolah menusuk dan terasa dalam diriku. Rasa terkejut yang sama seolah aku sedang menyaksikan kejadian tabrakan di depan mataku. Berlebihan mungkin, tapi entah kenapa aku tiba-tiba merasa cemas bercampur dengan perasaan tidak jelas menggumpal dalam dadaku. Seperti pernah ku alami tapi sepertinya juga tidak.

Dengan kejadian kurang dari 24 jam yang lalu, aku semakin ingin mengatakan sesuatu yang tersimpan ini pada seseorang. Tapi, orang yang menjadi pilihan pertamaku justru entah dimana sekarang. Masih ku ingat bagaimana tadi aku benar-benar melihatnya, walau hanya sisi samping tubuhnya.

Mataku terus terpaku padanya, bagaimana ia berjalan, memakai celana jeans hitam dengan kemeja kotak-kotak (aku sempat mengira ia ingin foto ktp). Dan disampingnya ada wajah familiar yang memakai jas putih kebanggaannya, tidak lupa juga terdapat sandwich di tangannya. Dengan jarak sekitar 10 meter yang hanya ku kira-kira, aku bisa jelas memastikan bahwa itu Sica unnie dan Taeyeon unnie sedang berjalan berdua.

Apa yang mereka lakukan saat itu? Aku tidak punya hak apapun untuk mengurusi hal pribadinya, tapi bagaimana bisa dia mengunjungi temannya namun justru tidak pernah menemui adik satu-satunya lebih dari seminggu.

Aku ingin mengejarnya, tapi tubuhku jelas tidak bisa menurutinya. Aku ingin memanggilnya, tapi aku juga masih punya sedikit rasa sopan santun tentang dimana aku berada. Akhirnya aku hanya membiarkannya, lewat dan menghilang lagi dibalik tembok.

Aku bodoh? Memang. 

Aku mulai merasa tak tenang. Memang kata orang aku kadang terlihat menakutkan, tapi yang sebenarnya, justru akulah orang yang penakut. Bagaimana aku selalu tiba-tiba bangun pada tengah malam, ingin ke kamar mandi pun aku akan menahannya sampai pagi, paling tidak sampai ada suara ayam yang bernyanyi untuk memecah keheningan. Apalagi dengan keadaan rumah yang sepi, aku menjadi takut bahkan pada hal yang tak pasti.

Dan sekarang itu terjadi lagi, tapi bukan ingin mengunjungi kamar mandi, namun tenggorokanku yang terasa kering dan tak ada botol air minum di sampingku. Dengan perlahan, aku bangun dari tempat ini. Berjalan dengan tangan kanan bertopang pada benda apapun yang bisa kupegang, ku jadikan bantuan menggantikan orang yang beberapa saat yang lalu menemaniku.

Entah kenapa aku menjadi sangat sering bertemu dengannya. Bukannya tidak suka, tapi tidak biasa saja. Namun, ada baiknya juga, paling tidak dia bisa mengurangi sedikit sisi penakutku.

Siapa itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah Jung Yerin unnie, atau biasa ku sebut Yennie. Bagaimana dia bisa selalu ada di rumahku? Aku juga tidak tahu. Setelah Pak Jiyong mengantarku pulang, Yerin unnie sudah duduk nyaman di teras rumahku dan lagi-lagi dengan buku di tangannya. Saat ku tanya, dia hanya menjelaskan kalau Yerin unnie bertemu dengan Umji yang membawa barang-barangku, lalu akhirnya unnie yang menawarkan diri untuk membawakannya kemari.

Tapi Umji tidak mengatakan apapun padaku tadi. Atau mungkin sudah? Apa aku yang tidak mendengarkan? Entahlah.

Setelah perjalanan merayap di dinding yang panjang, akhirnya aku keluar dari kamarku. Ini sudah malam, tapi kenapa lampu masih menyala.

“Unnie, kau belum tidur??” Aku sedikit kaget melihat Yerin unnie yang memakai kacamata bulatnya sedang duduk di ruang tamu bersama buku-buku bersebaran di meja.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang