36 - Kepercayaan

301 33 3
                                    

Kata-kata yang keluar dari mulut Yerin unnie tidak bisa ku biarkan lewat begitu saja di depan mataku. Sesuatu telah membuat hal-hal tersambung seolah menyelesaikan sebagian puzzle yang tak bisa ku isi sendiri ini. Semua terasa sedikit terang bagiku untuk paling tidak menjelaskannya.

Bagaimana Yerin unnie yang selalu 'kebetulan' berada di dekatku hampir setiap harinya. Bagaimana Yerin unnie yang tidak pernah menyinggung tentang Sica unnie sama sekali padahal ia tahu persis keadaan rumahku yang selalu kosong. Dan bagaimana Yerin unnie yang selalu menjadi penjagaku seolah sebagai bodyguard pribadiku.

Hal-hal yang tampak buram kini sedikit jelas setelah tiba-tiba saja aku teringat tentang janji Yerin unnie dan Sica unnie yang ku dengar tak sengaja di rumah sakit dulu, ku yakin ia tahu sesuatu.

(buat yg lupa, ada di Chapter 19)

Segala yang terjadi di sekitarku tampak ganjal, tapi aku yang memiliki tingkat kepekaan super rendah ini tak bisa merasakannya dan hanya melewatkannya saja. Namun kini tidak, aku hanya ingin tahu dimana Sica unnie berada, dan hanya Yerin unnie satu-satunya yang mungkin mengetahuinya.

"Unnie, bisa kau jelaskan perkataanmu tadi? Rasanya seperti ada sesuatu yang tidak seharusnya bisa kau katakan."

Tolong jelaskan, dan buat aku percaya unnie. Aku ingin mempercayaimu, tapi dengan semua opini yang mengalir satu-persatu dari diriku sendiri, rasanya sulit untuk melakukannya.

"Sesuatu? M-maksudmu?" Hah.. aku tahu ia akan mengatakan itu.

"Berhentilah bersikap seperti buku, unnie. Entah bagaimana, aku bisa dengan mudah membacamu." Aku tak ingin bersikap dingin padanya, tapi tanpa ku suruh sifat itu muncul dengan sendirinya. Kenapa aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri?

"Bi.. apa yang kau bicarakan?" Yerin unnie sekarang hanya bisa memberikan senyum garing keripik krispi nya padaku. Ini bukanlah yang ku harapkan, tapi kecurigaanku semakin bertambah seiring waktu memisahkan kita berdua dengan terlarut dalam pikiran masing-masing.

Aku menghela nafasku, membuangnya dengan kasar sebagai tanda kekecewaan. "Tidak ada."

Iya, tak ada yang berbicara, hanya duduk diam, bersebelahan, dengan mata berjalan-jalan mengamati apapun sambil mendengarkan suara hujan yang rasanya tidak pernah berhenti. Posisi canggung ini terasa sangat tidak menyenangkan, tapi tidak ada satupun dari kita yang berusaha memecahkannya.

Padahal baru beberapa saat yang lalu kita saling berbagi, mencurahkan apa yang sebelumnya tak bisa terucap, lalu semua mendadak berubah setelah aku merasakan kejanggalan dan mencoba meluruskannya.

"Unnie.." Baiklah.. aku yang memulainya, aku juga yang akan mengakhirinya. Aku tak menyukai hal yang berbelit-belit, jadi aku akan langsung ke intinya. "Apa kau tahu dimana Sica unnie?" Dengan santai aku mengatakan hal itu, berniat mengecek air sebelum memasukinya.

"Tidak." Yerin unnie sepertinya berani menampakkan wajahnya padaku, menggelengkan kepala, mata mulut hidung berbentuk O, postur tegap namun condong sedikit ke belakang, seperti berusaha meyakinkan apapun yang ingin dia yakinkan. Tapi sayangnya, jawaban yang secepat kilat itu telah memberi jawaban bagiku.

Separuh bibirku terangkat, tersenyum simpul karena ia telah menyambar umpan yang ku lemparkan.

Aku berdiri dari tempat panas ini—dengan sedikit susah payah tentunya, meninggalkannya lagi seperti yang biasa ku lakukan.

"Kau mau kemana Bi?" Ia terus memperhatikanku, tapi tubuhnya tak bergerak dan tetap berada dalam posisi yang sama. Entah apa ada yang menaruh lem di pantatnya, siapa tahu.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang