15 - Rumah Sakit

572 39 11
                                    

Aku membuka mataku perlahan. Beberapa kali mengerjapkannya sebagai efek terkejut atas sinar yang berebut masuk kedalam mataku. Ada sedikit rasa panas yang masih terasa di kulitku. Dan setelah kuhirup aroma di ruangan ini, bisa ku pastikan ini adalah tempat yang ku benci. Tempat dimana aku kehilangan orang yang ku sayangi, sangat ku sayangi.

Aku mencoba untuk bangun dari posisiku sekarang yang tengah berbaring, berusaha duduk tapi sayangnya tak mudah kulakukan. Kedua tanganku menopang di sisi kanan kiri tempat tidur, dengan mata terpejam serta kepala mendunduk, menahan rasa pusing yang sejenak datang.

"Oh, hey! Kau sudah bangun." Bisa kurasakan seseorang membantuku mendapatkan posisi duduk nyaman yang kuinginkan.

Tapi, setelah mengingat suaranya dan melihat ke wajahnya..

Aku merinding merasakan de javu seperti yang ku alami kemarin. Yang membedakan adalah tempatnya, sedikit ada peningkatan dari ruang uks ke ruangan rumah sakit.

"Aish, kau lagi? Kenapa setiap kali aku bangun kau yang menyambutku?" Aku memimpikan Yerin unnie menjadi orang yang pertama kali ku lihat setelah membuka mataku.

Tapi kenyataan memang tak seindah di mimpi. Yang ku temukan sekarang justru sosok tiang bendera yang berdiri dengan tegak di depanku.

"Yah!! Kau tak suka?" Sowon si tiang tersulut emosi pemirsah. Itu terlihat dengan jelas dari raut wajahnya.

"Tentu saja! Kenapa kau selalu ada di depanku?!?!" Rasa pusing di kepalaku perlahan menghilang, yang tersisa hanyalah sedikit rasa panas dan gatal yang untungnya bisa ku tahan. Jadi, aku masih bisa dengan leluasa membalas perkataan orang setengah tiang di depanku ini. Menyenangkan juga saat mengganggunya.

"Aku yang mengantarmu kemari. Jadi disinilah aku sekarang, terjebak satu ruangan dengan orang yang tak tahu kata 'terimakasih'." Dia kesal rupanya. Bisa ku tebak dari tangannya yang terlipat di depan dada serta memalingkan wajahnya dariku.

"Baiklah.. Matur tengkyu mbah Sowon." Aku menunjukkan senyum ter-innocent ku sambil membungkukkan sedikit badan juga kepala, menghormati tiyang sepuh di hadapanku ini.

Tapi..

Bletak.

"Aw.." Permintaan maafku justru dibalas dengan jitakan tepat di dahiku.

"Yah! Kenapa kau memukulku?" Ku pegangi dahiku yang malang ini. Kenapa ia selalu menjadi sasaran kemarahan orang lain, padahal ia tak melakukan kesalahan apapun.

"Kau tadi memanggilku apa?" Tanyanya dengan nada marah padaku.

"Mbah Sowon." Ucapku dengan wajah tanpa dosa yang ku perlihatkan padanya.

"Kau ini. Bisa tidak, sehari saja tak membuatku marah!" Sayangnya tidak.

"Dasar pikun. Kau lupa? Kita baru kenal sehari dan kau selalu muncul di hadapanku." Ternyata sangat menyenangkan mengganggu si tiang. Melihat ekspresinya yang asdfghjkl itu justru membuatku ingin tertawa.

"Itu karena kau terus pingsan di depanku. Mau tak mau aku harus menolongmu." Sial, benar juga yang dikatakannya. Kenapa dia selalu melihat sisi lemahku.

"Itu juga salahmu. Aku terkejut saat tahu kau adalah sepupu dari Yewon. Dia memberitahuku saat aku sedang makan, membuatku tersedak dan langsung meminum jus terkutuk itu." Ku jabarkan semua padanya, dengan rumus matematika, geometri dan fisika.

"Kenapa juga itu salahku? Kau sendiri yang meminumnya, malah menyalahkan orang lain." Ku putar otak kembali untuk membalas perkataannya.

"Jelas itu salahmu. Bagaimana aku tidak terkejut saat tahu Yewon yang super manis mempunyai sepupu yang super menyebalkan sepertimu." Dia semakin panas dan aku semakin senang.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang