25 - Perantara

332 32 21
                                    

Berbagai macam pikiran terus berputar-putar di kepalaku. Hari senin yang sama sekali tidak bersalah ini berubah menjadi hari yang menyebalkan.

Dari tadi pagi, banyak sekali yang mengusik hariku. Bangun tidur mendapat bentakkan dari Sica unnie tanpa tahu alasannya. Dihukum karena terlambat mengikuti upacara bendera. Ditambah sekarang mendadak ada ulangan matematika. Apa lagi yang bisa membuat hariku menjadi lebih buruk dari ini.

“5 menit lagi.” Kata-kata mengerikan terlontar dari mulut guru killer yang ditakuti semua orang di kelasku.

Semuanya atau bisa ku sebut teman-teman sekelasku mulai sibuk dan heboh bertanya satu sama lain mencari-cari jawaban yang tak bisa mencari di google itu. Suasana di kelas menjadi ramai seperti yang tidak ku sukai.

Namun apa yang dilakukan sang guru killer itu, ia tetap sibuk dengan handphone di tangannya menikmati wifi gratis dan membiarkannya saja. Padahal bisa jelas terlihat kalau kebanyakan siswa melakukan kecurangan, tapi ia tetap tidak melakukan tindakan apapun seolah menutup matanya tak peduli.

Aku hanya memutarkan bola mataku, jengah atas kejadian yang sudah sering terjadi itu. Aku memang tidak terlalu pandai dalam pelajaran, apalagi matimatika. Tapi Eomma selalu bilang kepadaku untuk menjadi orang yang jujur.

Kata-katanya masih menancap di kepalaku,

‘Jangan mempedulikan tentang hasil akhirnya, tapi pikirkan tentang prosesnya dan bagaimana caramu mendapatkannya.’

Aku setuju dengan itu, karena percuma jika mendapat nilai yang baik tapi tidak mengerti apapun yang kau pelajari.

Aku harus menanamkan pikiran bahwa aku belajar untuk diriku sendiri. Karena Eomma sudah tidak ada di sampingku lagi, dan Sica unnie pun mungkin tidak terlalu menunjukkan perhatiannya akan bagaimana sekolahku, maka akulah yang harus memberi motivasi dan semangat belajar untuk diriku sendiri.

Tidak ada yang mengawasi bukan berarti aku bisa melakukan sesuatu seenaknya. Aku harus membuktikan bahwa yang dikatakan Sica unnie tadi pagi tidaklah benar. Walaupun tak ada appa dan eomma di sampingku, aku harus menunjukkan bahwa aku bisa bertanggung jawab atas diriku sendiri. Aku harus menjadi orang yang berguna agar tidak menyusahkan orang-orang di sekitarku, terutama Sica unnie.

“Waktu selesai. Kumpulkan sekarang!” Akhirnya ia melepaskan handphone yang seperti melekat di tangannya. Itu juga hanya untuk mengambil kertas-kertas ujian murid-muridnya.

Aku menyerahkannya dengan tenang dan tidak berkata apapun seperti biasanya. Aku sudah berusaha mengerjakannya, dan kalau masih mendapat nilai yang tidak bagus, berarti itu takdirnya. Aku tidak ingin memusingkan diriku sendiri hanya karena masalah angka.

•••

Satu persatu teman-teman sekelasku mulai keluar dari kelas karena ini memang sudah jam istirahat. Tapi aku sama sekali tak ingin melangkahkan kakiku keluar dari bangku keramat yang berada tepat di depan meja guru ini. Untuk berdiri pun rasanya sudah sangat malas. Bisa dibilang mood ku benar-benar hancur hari ini.

“Hwang SinB! Ayo ke kantin!” Baru saja kepalaku ingin menempel di meja yang sudah ku anggap seperti kasur di rumahku, ada orang tak berperasaan yang menggebrak mejaku. Mejaku? Bukan, ini meja miliknya juga.

Aku mengangkat kepalaku untuk melihatnya, menunjukkan ekspresi malasku padanya. Siapa lagi yang berani mengganggu hidup nyamanku di kelas ini kalau bukan si bocah Seomay alias Son Juyeon aka Eunseo.

“Tidak. Kau saja.” Aku sedang malas menanggapinya, jadi hanya kata-kata irit yang keluar.

“Yah, sebenarnya ada apa denganmu hari ini? Kau bahkan lebih kaku dari biasanya.”

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang