18 - Tim

388 32 2
                                    

Kembali ke kehidupan yang membosankan. Setidaknya bagiku, yang kurasakan saat ini. Kukira aku telah mempunyai semua. Kehidupan yang setidaknya baik-baik saja, perhatian yang ku inginkan dari kakakku, bahkan bertemu lagi dan menjalin pertemanan yang sepertinya baik dengan orang-orang di sekitarku (setidaknya beberapa).

Tapi kenapa aku masih merasa ada yang kurang. Sifat yang selalu melekat dalam tubuhku ini rasanya tak bisa lepas dengan mudah. Rasa ingin menyendiri dan menjauh dari orang lain, masih saja menggangguku. Padahal sepertinya sudah cukup ada orang-orang yang sepertinya tulus peduli denganku.

Ku kira dengan dia datang lagi ke kehidupanku, semuanya akan berakhir. Tapi tidak, belum ku rasa. Kehadirannya mungkin sedikit bisa mengubahku, namun memang sulit sepertinya menghilangkan kebiasaan yang sudah berjalan sejak lama.

Seperti sekarang, aku hanya duduk di bawah pohon sendirian menunggu namaku dipanggil untuk tes pelajaran olahraga. Sudah seminggu sejak insiden jus itu, dan tidak ada hal menarik yang terjadi di malam saat Yerin unnie dan aliennya menginap di rumahku. Sica unnie baru pulang 2 hari kemudian, tapi aku juga tak ingin menanyakan apapun.

“Hwang Eunbi. Giliranmu!” Akhirnya namaku dipanggil juga. Kenapa aku selalu mendapatkan nomor absen di barisan terakhir. Aku benci menunggu.

“Tembok Cina! Semangat!!” Ah, sebenarnya aku tidak sendiri. Karena sepertinya aku melupakan kehadiran Son Seomay yang sejak tadi ikut duduk disampingku.

Baiklah, dia Son Juyeon yang minta dipanggil Eunseo. Tapi tidak seru jika memanggil temanmu hanya dengan nama panggilan normalnya, apalagi nama aslinya. Nama panggilan yang kubuat sendiri justru akan membuatku merasa lebih akrab dengannya.

“Hm.” Aku berdiri, melangkah dengan penuh percaya diri menuju arena lari. 60 meter tidak ada apa-apanya dibandingkan hukuman Sowon si tiang bendera waktu itu. Aku hanya perlu berlari dengan cepat dan semua selesai.

“Ambil posisi! Sedia..” Dengan tenang aku mengambil posisi awal berlari. Berjongkok dengan kaki kiri didepan sejajar dengan lutut kananku.

“Siap......” Ku angkat sedikit badanku juga kepalaku.

“Mulai!” Kakiku tanpa perlu kusuruh langsung melaju dengan kencangnya. Yang ada di fikiranku sekarang hanya satu. Garis finish, aku datang.

“Yah!! SinB!! Berhenti!!”

“Eeeeiit.” Ku rem kakiku mendengar teriakan dari Son Seomay dan beberapa orang lainnya.

Ku kontrol dulu nafasku sebelum menoleh melihatnya yang sedang berlari ke arahku, lalu baru aku menyadari suatu hal.

“Kau sudah melewati garis finishnya, kenapa kau terus berlari?” Ucapnya setelah melempar botol minuman padaku.

“Anggap saja aku lagi bersemangat.” Aku meminumnya. Air setengah dingin yang tak mempunyai rasa. Mencoba bersikap normal setelah kejadian yang sedikit memalukan itu.

“SinB-yah, kau itu sungguh terlihat keren saat diam dengan sifat cuekmu itu.” Tentu. “Tapi siapa sangka itu semua akan hancur dengan tingkah bodohmu. Kau memang benar-benar misteri.”

“Yah! Seomay. Ingin mati hah??” Aku pukul kepalanya dengan botol setengah kosong yang ada di tanganku. Orang lain mungkin akan mengira aku menganiayanya atau yang lebih parah membully nya. Tapi tidak, kelihatannya dia juga senang mendapat pukulan dariku.

“Itu kenyataan. Apa kau sering maraton?”

“Tentu tidak.” Aku tidak pernah lari maraton. Kalau maraton drama sering.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang