29 - Pagi

312 27 46
                                    

Sudah tiga hari rumah ini sepi. Benar-benar tak ada orang lain disini. Orang yang sedang membuatku merasa kesal dan sedikit tersakiti karena perkataannya, kini justru menjadi orang yang ingin ku temui. Setelah kejadian gelas di pagi hari yang tak menyenangkan itu, aku sama sekali tak mendapatkan kabar darinya.

Memang sudah biasa jika Sica unnie menghilang karena pekerjaannya, dan aku tak tahu menahu kapan ia pulang ataupun pergi. Bahkan pernah sampai tidak pulang beberapa hari, dan hanya meninggalkan uang serta catatan kecil yang ditempelkan di kulkas. Tapi kali ini, setelah insiden itu, aku tak bisa menghindar selain merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tak ada telfon, tak ada sms, bahkan note kuning yang biasanya akan tertempel di kulkas kini tidak ada. Hanya ada lembaran kertas bernilai yang tergeletak di atas meja makan tertindih oleh mangkuk sereal setiap paginya.

Yang ku pikirkan tentu saja itu adalah perbuatan Sica unnie. Tapi kapan dan kenapa dia melakukan itu? Otakku memikirkan kemungkinan bahwa Sica unnie mungkin tak ingin melihatku setelah kejadian itu. Dan hatiku juga merasakan bahwa dia seperti menghindariku.

Aku tidak pandai mengungkapkan ini, tapi sungguh aku merindukannya. Lebih baik aku melihatnya dan mengungkapkan rasa kesalku padanya setiap hari, daripada tidak jelas seperti ini.

Tapi mungkin kini aku tidak memiliki waktu untuk memikirannya. Sepertinya sekarang ini aku mendapat sesuatu sebagai pengalih perhatianku. Sudah dua kali Yerin unnie datang pagi-pagi ke rumah untuk berangkat bersama. Seperti hari ini, saat kakiku melangkah keluar dari rumah, Yerin unnie sudah siap sedia berdiri didepan pagar dengan senyum tertempel di bibirnya.

“Hai Bi.” Dan dia menyapaku, sambil melambaikan tangannya.

“Unnie.” Aku pun membalasnya. Dengan cepat, tanganku bergerak mengunci pintu lalu segera menghampirinya.
“Kenapa kau berdiri disana? Kau bisa masuk unnie.” Aku membukakan pagar penghalang itu.

“Aku baru saja datang.” Pagar pun terbuka.

“Kemarin kau juga mengatakan itu.”
Aku tahu dia berbohong, karena tadi aku sudah memperhatikannya dari jendela kamarku. Sambil mempersiapkan diri, aku melihatnya berdiri disana kurang lebih hampir 10 menit lamanya.

Bukannya tidak ingin membukakan dan membiarkannya terus diluar, tapi bisa ku lihat ia tengah sibuk dengan handphone nya dan terkadang menempelkan benda itu pada telinganya, entah menelpon siapa. Jadi, aku hanya melihatnya saja.

“Ayo berangkat!”
Setelah pagar kembali terkunci, aku mengikutinya, berjalan sedikit di belakang, memperhatikannya yang sedang berjalan bahkan terkadang melompat dengan gembira.

Kalau tak ingat, mungkin aku akan lupa fakta bahwa dia lebih tua dariku. Seperti saat ini, kita harus menyeberang jalan, tapi bukannya menggandeng tanganku, ia justru berjalan dengan pede nya seolah sedang menjadi model video klip.

Dia benar-benar sukses membuatku sedikit melupakan hal yang mengganggu pikiranku. Kami berjalan dalam diam, hanya saling melempar senyuman saat beberapa kali tak sengaja bertatap muka. Rasanya aku masih tak percaya melihatnya sekarang ada menemaniku.

Setelah perjalanan singkat, kami akhirnya menemukan halte tempat menunggu bis, dan duduk disana.

“Kau sarapan apa Bi?”

“Hah?” Aku berpikir sedikit atas pertanyaan random nya. “Hmm.. sereal.”

“Makan siang?” Wah, Jung Yerin.. sungguh pertanyaan yang bodoh.

“Denganmu di kantin.”

“Ah, aku lupa.“ Dia menggaruk bagian kepalanya yang pastinya tidak gatal. “Makan malam?”

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang