"Yerin?"
Jantungku rasanya berhenti berdetak untuk beberapa saat. Bukan karena melihat hantu atau semacamnya, tapi aku justru melihat Sica unnie masih berada disini. Berdiri di depan cermin wastafel sehingga dapat melihatku yang berada tak jauh di belakangnya.
Tangannya terangkat bergantian menghapus air yang keluar dari kedua matanya, namun tetap berusaha bersikap normal. Entah kenapa justru aku sekarang yang sepertinya tak bisa bersikap normal.
"U-unnie.." Aku tak tahu apa yang harus ku katakan, mataku terbuka dan berkeliaran mencari kata yang tepat untuk ku ucapkan.
"Kau mendengarnya?" Unnie membuka suara dengan pertanyaan yang seolah mengintrogasiku. Matanya bertemu dengan milikku melalui cermin sebagai perantaranya.
"Maaf, aku..." Kepalaku menunduk dengan kedua jari tangan saling memeluk satu sama lain, sambil memikirkan jawaban dari pertanyaan yang bagiku lebih sulit dari ujian kelulusan.
"Kenapa minta maaf? Kau tak salah Yerin.. Tapi tolong, anggap saja kau tak pernah mendengar apapun." Apa? Kenapa? Bahkan aku masih sama sekali tak mengerti tentang pembicaraan yang tadi, ditambah lagi yang sekarang.
"Jangan katakan pada siapapun tentang apa yang kau dengar tadi. Terutama pada Eunbi" Unnie kini berbalik menghampiriku lalu memegang tanganku, menggenggamnya erat. Aku semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi.
"K-kenapa?" Mataku kini bisa melihat miliknya secara langsung tanpa perantara.
Lalu kami justru melakukan lomba menatap, seolah bermain 'siapa yang melepaskan kontak lebih dulu ia yang kalah'. Telah ku hitung lebih dari 10 detik permainan itu berlangsung, seharusnya itu memudahkanku untuk mencari petunjuk dari sorot matanya. Tapi kosong, karena aku bukanlah psikolog atau semacamnya.
Aku hanyalah anak SMA biasa bernama Jung Yerin, yang jika terus memperhatikan mata seseorang maka aku justru akan menemukan bayangan diriku sendiri.
"Maaf aku tak bisa menceritakannya Yerin-ah." Sica unnie mengakhiri permainan setelah kepalanya menunduk dan menghilangkan kontak mata denganku. Tangannya terlepas dari tanganku dan terhempas kembali ke tempatnya.
"Aku mempercayaimu Yerin, tapi aku tak bisa memberitahumu semuanya." Aku tambah bingung dengan sikap Sica unnie. Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu, tapi aku tak mengerti apa itu.
"Unnie.. jika kau tidak ingin memberitahuku semuanya, paling tidak beri tahu aku sedikit saja." Entah darimana ku dapatkan keberanian untuk mengatakan hal itu.
Aku kembali menatap langsung di kedua matanya dengan tatapan penuh harap, kedua tanganku berada di sisi kanan dan kiri lengan atasnya membantu agar ia melihat kearahku. Sica unnie yang ikut memandangku kini menghembuskan nafasnya dengan berat. Jelas ada sesuatu yang mengusiknya.
Sejenak keheningan datang menghampiri kami. Sica unnie tetap diam dalam posisinya, dengan kepala yang setia memandangi lantai yang sama sekali tidak menarik bagiku.
"Baiklah. Maaf jika aku lancang karena ini urusan keluarga kalian, tapi jika ini tentang Eunbi aku merasa harus tahu." Itu benar. Ayolah unnie katakan sesuatu. Apa harus kukatakan hal lain lagi.
Mungkin sebaiknya aku pergi saja dan menuruti keinginannya seolah tak ada apapun yang terjadi. Tapi ku fikir sudah terlambat untuk menarik kata-kataku kembali, ditambah lagi rasa penasaran telah menguasai otakku.
"Aku sudah lama tak bertemu dengannya. Dan 2 hari ini adalah pertemuan pertama juga keduaku setelah beberapa tahun tak melihatnya." Aku mulai bercerita dengan tubuh bersandar ke dinding kamar mandi, melihat refleksiku sendiri serta tubuh bagian belakang Sica unnie dari cermin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tembok Es
Teen FictionSetelah kau pergi, aku membangun tembok es tinggi di sekitarku. Baru ku sadari, rasa dingin ini menyiksaku. Akankah kau kembali dan menghancurkan tembok ini ? Hangatkan aku lagi.. My Buddy...