9 - Hari Baru

513 42 3
                                    

Suara alarm membuatku terbangun dari tidurku. Bersiap untuk memulai hari yang ku harap akan lebih baik dari kemarin. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diriku dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Aku terkejut setelah melihat sebuah mangkuk berisi sereal tersaji di meja menunggu untuk ku makan.

Bagaimana aku tahu? Karena ada kertas bertuliskan 'for Eunbi' di sampingnya.

Aku tidak tahu siapa yang membuatnya tapi ku putuskan untuk memakannya, karena aku tak bisa keluar dengan perut kosong.

Aku memakannya dengan pikiran bingung, karena biasanya tak ada yang membuatkanku sarapan.

“Makan pelan-pelan.” Aku mendengar suara seseorang di belakangku.

“Sica unnie? Kau yang membuat ini?” Bagaimana aku tak terkejut, karena biasanya unnie sudah berangkat ke tempat kerjanya, bahkan terkadang sebelum aku bangun.

“Apa aku tidak boleh membuatkan sarapan untuk adikku sendiri?”

“Bukan begitu. Tapi bagaimana pekerjaanmu? Biasanya kau sudah berangkat jam segini.”

“Unnie ingin berangkat bersamamu.”

Sica unnie mengelus puncak kepalaku adalah hal yang sudah jarang ku dapatkan, dan sekarang aku bisa merasakannnya lagi itu membuat pagiku menjadi lebih cerah dari biasanya.

“Kalau sudah selesai, ku tunggu di depan.”

Sica unnie berjalan keluar rumah, dan dengan segera aku menyusulnya.

Sekarang aku berada di kursi depan, tepatnya di sampingnya dalam perjalanan ke sekolah.

“Kau resmi menjadi supirku.”

“Heh?” Unnie sedikit terkejut dengan pernyataan aneh yang ku lontarkan.

“Bisakah kau. . . terus seperti ini?” Aku sedikit ragu untuk menanyakan pertanyaan itu. Terlihat egois memang, tapi setidaknya aku ingin bermanja pada orang yang tepat.

“Selalu siap melayani anda, Ny. Hwang.”

Kami tertawa bersama seperti dulu. Semua hal yang ku rindukan, perlahan dia membayarnya. Walau aku juga masih bingung dengan sikapnya yang tak biasa hari ini. Tapi ku biarkan saja, toh aku juga menyukainya. Sangat malah.

Sisa perjalanan terasa sangat menyenangkan. Kami kembali bercanda dan saling mengejek layaknya seorang kakak beradik. Sampai tak terasa kami sudah sampai di depan gerbang sekolah.

“Unnie... terimakasih.” Ku berikan senyum limited editionku kepadanya.

Sebelum aku menginjakkan kakiku keluar mobil,

“Nanti ku jemput. Jangan pulang sendiri.” Saat unnie mengatakan hal itu, aku merasa kembali ke masa-masa kecilku dulu.

Sewaktu sekolah dasar, unnie selalu menjemputku untuk pulang bersama. Tapi aku harus menunggunya karena jadwal pulang sekolah kami berbeda, dengan tentunya aku yang lebih dulu pulang. Karena lelah menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk pulang sendiri.

Karena tidak melihatku di sekitar sekolah, Unnie ternyata mencariku sampai sore, lalu saat tiba di rumah dia menangis karena mengira aku diculik.

Tapi saat tahu kalau aku sudah ada dirumah, Unnie justru memarahiku habis-habisan. Dikuncinya aku di kamar bersama dengannya dan kita berperang sampai energiku untuk tertawa terkuras habis karenanya.

Bagaimana tidak, unnie mengunci tangan dan kakiku lalu duduk di atasku sambil menggelitiku. Yang ku lakukan hanya tertawa dan berteriak sampai ingin menangis, tapi dia justru tertawa menang karena berhasil mengalahkanku dengan taktik liciknya.

Tembok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang