Malam kembali menyapa. Gelap kembali menyelimuti. Suara jangkrik semakin lama semakin memekik telinga. Sesak di dada adalah hadiah dari patah hati. Dan pena yang menari-nari di atas kertas, sebentar lagi akan menjadi bukti luka yang abadi.
Dalam kesunyian ini, kutuang semua keluh kesah yang hanya bisa kupendam sendiri. Walau pena telah berganti berkali-kali sebab patah akibat luapan amarah yang tak terkendali, dan kertas yang telah habis oleh coretan rasa yang terus berganti tanpa memilih untuk menetap pada kata ikhlas. Namun nyatanya, tetap saja bagiku semua itu masih jauh dari kata cukup untuk mengungkapkan dan menggambarkan apa yang ada dalam rasa, pikiran, serta bisikan hati dalam diriku.
Aku tak tahu alasan apa yang membuatku sesakit ini. Aku tak tahu alasan apa yang membuatku sebenci ini. Aku bahkan tak tahu alasan apa yang membuat diriku sampai sulit melupakan hingga detik ini. Tapi satu hal yang pasti, kehilanganmu adalah bencana dalam hidupku.
Seolah, hujan masih betah membanjiri pelupuk mataku. Mengalir melewati pipiku. Dan berakhir di ujung daguku sebelum jatuh membasahi kertasku.
Badai masih setia menyerang duniaku. Mematahkan pohon mimpi yang telah kurawat setelah sekian lama. Menghancurkan menara harapan yang telah kubangun tinggi-tinggi.
Bahkan tsunami ikut andil dalam menenggelamkan semuanya. Hingga hanya menyisakan tanah kering nan tandus. Seolah tak ada lagi tanda-tanda kehidupan setelah bencana ini.
Lalu jika telah seperti ini, apa yang harus kulakukan?
Bertahan dalam kepedihan menunggu kamu kembali menjemput? Itu tak mungkin. Bisa-bisa hidupku kiamat dalam kesengsaraan.
Apa aku harus kembali membangun harapan baru dengan mencoba menemukan jejakmu? Sepertinya itu bukan pilihan yang tepat. Mengingat jejakmu telah hilang terhapus oleh hujan, badai dan tsunami.
Sepertinya keadaan benar-benar tak ingin memberiku pilihan selain melangkah melupakanmu. Aku bisa apa selain menerimanya? Meski aku harus menemukan kenyataan bahwa melangkah melupakanmu bukanlah hal yang patut diberi gelar mudah untuk dilakukan. Sebab melupakanmu sama halnya seperti berjalan di atas tanah tandus dengan duri yang menancap dalam pada kaki berlumur darah. Bahkan karena terlalu dalam, duri tersebut begitu sulit untuk dikeluarkan. Nalarku bahkan tak bisa menerka butuh waktu berapa lama untuk mengeluarkannya. Belum lagi menyembuhkan lukanya.
Tapi tak apa, sebab aku selalu percaya pada kutipan lama "usaha tak akan pernah mengkhianati hasil" yang sampai sekarang aku sendiri tak tahu siapa penulisnya.
Dan harapanku, malam ini adalah malam terakhir untuk menulis semua hal tentangmu. Tentang semua kenangan manis yang rasanya lebih manis dari madu. Juga tentang semua kenangan pahit yang rasanya lebih pahit dari buah pare.
Kuharap, esok mentari akan menyapaku dengan hangat peluk sinarnya. Lalu membantuku bangkit hingga mengucapkan kalimat "melupakanmu, aku mampu.".
Makassar, 01 Mei 2018.
Heltymk
![](https://img.wattpad.com/cover/143718593-288-k346427.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Setelah Kehilanganmu.
RomanceSebelumnya aku tidak pernah membayangkan bagaimana aku setelah tidak denganmu. Hingga suatu ketika, waktu membawaku pada keadaan; melepaskanmu adalah sebuah keharusan. Setelah kehilanganmu; aku mencoba berdamai dengan rindu, berteman dengan sepi, se...