Azmi POV
Matahari tenggelam tepat di ufuk barat. Menyisakan lembayung kemerahan. Binatang malam mulai bersuara.
Tapi, wait. Sejak kapan seorang Azmi menjadi puitis seperti ini? Aih.
Oke, abaikan.
Aku membuka kunci laci mejaku. Terdapat uang tabunganku, lalu aku menghitungnya. Kubuka catatan pengeluaranku,
Uang kos ✔
Makan sebulan ✔
Pengeluaran mendadak ✔
Uang simpanan ✔
Setelah aku hitung-hitung semua pengeluaran, ternyata masih ada sisa cukup banyak dari uang hasil bekerjaku.
Seperti yang kalian tahu, pagi hari aku mengajar di SLB, setelah itu kuliah. Magrib hingga Isya aku berada di Masjid untuk mengajar anak-anak mengaji. Malam minggu aku berada di panggung sebagai vokalis hadroh.
Dari kegiatan-kegiatan itulah aku mendapat uang.
Aku ini tidak seperti Ahkam yang merupakan pewaris perusahaan. Atau Sya'ban dan Ayesha yang terlahir dikeluarga bangsawan.
Umiku hanya ibu rumahtangga, dan Abiku hanya PNS yang gajinya biasa-biasa. Tapi seginipun Alhamdulillah. Masih banyak orang diluar sana yang untuk makanpun susah.
Sudah lama sepertinya aku tidak menelepon Umi. Alhasil, aku memutuskan untuk menghubungi umi di Blitar.
"Assalamualaikum, umi." Aku membuka percakapan telepon.
"Waalaikumsalam, Azmi. Apa kabar sayang?" sapanya lembut.
"Alhamdulillah, umi. Azmi sehat. Umi gimana? Sehat? Abi gimana keadaannya?"
"Umi sehat, nak. Abi kamu alhamdulillah keadaannya membaik walau kadang masih pusing-pusing," ujar umi dari sebrang.
Iya, abiku sakit. Itulah yang menyebabkan keadaan ekonomi keluargaku memburuk. Abiku tidak bekerja, sedangkan tabungannya terus berkurang karena biaya rumah sakit.
Aku bernafas lega, "Alhamdulillah, deh kalo gitu. Umi bulan ini gak usah transfer ya," ujarku tenang.
"Eh, kenapa nak? Azmi punya uang?" tanyanya.
Aku tersenyum walau tidak akan terlihat olehnya, "Iya,mi. Azmi punya rezeki lebih. Nanti Azmi aja yang transfer buat nambah biaya rumahsakit, ya."
"MasyaAllah, nak. Gak perlu transfer. Simpan saja uangnya untuk kuliah, ya," tutur Umi.
Aku kembali tersenyum, "Gapapa, umi. Azmi udah nyimpen kok buat biaya kuliah,"
"Subhanallah, nak. Umi sama Abi bangga banget sama kamu. Fatimah disana juga pasti bangga punya kakak seperti kamu."
Tanpa sadar, airmataku mengalir. Aku merindukan senyuman Fatimah. Senyuman yang akhir-akhir ini sering aku lihat.
Senyum Fatimah, mirip senyuman Ayesha.
¤¤¤
Ayesha POV
Pagi yang cerah mengajakku untuk beraktivitas. Mataku masih bengkak. Itu semua gara-gara aku yang terlalu lama menangis dan karena sesi tanya jawab yang dilakukan Hanna-Hanny hingga malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ana Uhibbuki Fillah ✅
FanfictionUntuk Kamu, Seseorang yang menyadarkan bahwa kalimat sederhana 'Ana Uhibbuki Fillah', memiliki makna yang lebih dalam dibanding kata 'I Love U'. started: April 2018^ cover by: @bengkelangit