Flashback

1.5K 54 1
                                    

“Halo, Andre! Apa kabar?”, sapa Daniel melalui telepon genggamnya. ‘hey, Dan! I’m good. What about you?’, balas Andre sambil berkutat dengan laptopnya. “baik juga. Uda lama kita nggak ketemu ya. Terakhir kita ketemu waktu nikahannya Fani sama Heru”, kata Daniel sambil mengingat masa mudanya. ‘iya juga ya. Ternyata uda lama kita nggak ketemu. Ah iya, aku juga sering lihat artikel mengenai anakmu, Amberly. Kamu berhasil mendidik anakmu, Dan. Congrats!’, kata Andre diakhiri tawa renyah.

“itu semua atas usahanya sendiri. Sebagai orang tua, kita hanya bisa mendukung semua yang dilakukan anaknya kan. bagaimana pekerjaanmu? Lancar?”, tanya Daniel lagi. ‘begitulah. Bekerja di pemerintahan tidak semudah yang aku pikirkan. Tekanan dimana-mana, dikejar deadline, berkas terus menumpuk’, jawab Andre.

“bersemangatlah, Dre! Inget gimana perjuanganmu dulu buat masuk ke pemerintahan. Hmm, bisa aku minta bantuanmu?”, tanya Daniel hati-hati. ‘selagi aku bisa, pasti aku bantu. Ada apa?’, tanya Andre. “begini, aku bisa minta tolong carikan latar belakang keluarga seseorang? Aku sangat membutuhkannya”, jawab Daniel.

“ah, itu. mudah saja bagiku untuk mendapatkannya. Kebetulan aku bertanggung jawab atas kependudukan wilayah Jawa. Nanti kirimkan saja nama dan nomor KTP nya’, kata Andre. “akan aku kirimkan nanti. Terimakasih. Jika ada waktu, mampirlah ke rumahku bersama istri dan anak-anakmu. Ata kalau boleh, biar aku yang mengunjungimu”, kata Daniel. ‘tentu saja’, balas Andre kemudian memutus sambungan teleponnya. “semoga keputusanku ini benar”, kata Daniel pelan kemudian berjalan menuju ruang tamu.

Beberapa hari kemudian, Daniel mendapat kabar dari temannya, Andre. “halo! Bagaimana Dre? Apa kau mendapatkannya?”, tanya Daniel tanpa basa-basi. ‘semuanya sudah aku kirimkan melalui email’, jawab Andre. “baiklah. Terimakasih Dre. Akan ku traktir lain kali”, kata Daniel kemudian memutus sambungan teleponnya setelah mendengar balasan dari Andre. Daniel langsung berlari menuju ruang kerjanya kemudian memeriksa email dengan laptopnya yang ada di atas meja.

Daniel menekan tombol inbox dan melihat ada sebuah email dari Andre. Ia mengunduh file yang dikirimkan Andre, menunggu beberapa saat kemudian membacanya dengan seksama. Ia men-scroll mouse nya dan matanya mulai bertautan. Otaknya mencerna semua yang ia baca. Tanpa sadar, ia menggigiti kuku tangannya, pertanda ia mulai khawatir dan cemas. “apa semua yang tertulis disini benar?”, tanyanya pelan kemudian memilih untuk memastikannya lagi.

“maaf, aku mengganggumu terus Dre. Apa file yang kamu kirimkan itu benar? Apa kamu yakin tidak terjadi kesalahan?”, tanya Daniel sambil menyembunyikan suara paniknya. ‘tidak mungkin data yang kami miliki itu salah, Dan. Kalaupun itu salah, pasti kami akan segera meng-update-nya’, jawab Andre mantab. ‘Dan? Apa ada masalah?’, tanya Andre setelah beberapa detik tak mendengar suara dari Daniel di seberang sana. “tidak. Tidak ada masalah. Terimakasih atas infonya”, kata Daniel kemudian menutup teleponnya.

Daniel kembali duduk di depan laptopnya dan membacanya dari awal. “semua ini benar. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?”, kata Daniel sambil memegangi kepalanya yang mulai berdenyut. “aku harus memberi tahu Em sebelum semuanya semakin rumit”, kata Daniel kemudian meraih ponselnya dan mendial nomor Em. Setelah deringan ketiga, akhirnya teleponnya pun tersambung. “Em!”, sapanya. ‘halo! Maaf, pak. Saya Fifi, sekretaris ibu Amberly”, terdengar suara yang membuat Daniel menjauhkan ponselnya dan mengecek nama yang ada di layar.

“bukankah ini ponsel Em? Kenapa nona yang mengangkatnya? Dimana Em?”, tanya Daniel berturut-turut. ‘ponsel ibu Amberly tertinggal di kantor. Sekarang ibu Amberly ada di pabrik karena sedang ada sedikit masalah, pak’, jawab Fifi. “masalah apa?”, tanya Daniel. ‘bapak belum membaca artikel di internet atau melihat berita di televisi?’, tanya Fifi memastikan. “cepat katakan ada masalah apa?!”, titah Daniel tak sabar.

AMBERLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang