As Simple As That

1.5K 49 3
                                    

“kak Robert?”, tanyanya membuat Hilman mendongak dan menatap Esther lekat. Hilman berdehem kecil kemudian meneguk minumannya. “siapa dia? Apa dia seseorang yang anda kenal?”, tanya Hilman. “apa anda tidak mengenalnya?”, jawab Esther dengan pertanyaan. “tidak. Ini pertama kali saya mendengar nama itu”, jawa Hilman cepat. “ah, saya pikir anda mengenalnya”, sahut Esther sambil tersenyum kecil. ‘tidak mungkin dia itu kak Robert. Jika memang iya, pasti aku mengenalinya dari awal’, batin Esther. Mereka kembali membicarakan tentang keberlangsungan kasus Amberly.

“terimakasih atas makan siang nya”, kata Hilman ramah sambil mengulurkan tangannya. “tidak masalah. Disini memang saya yang sedang membutuhkan anda”, kata Esther santai sambil menjabat tangannya. Ia melihat bekas luka yang ada di tangan Hilman dan ia mengenali luka-luka itu. “pasti sangat sakit saat mendapatkannya”, kata Esther setelah melepas jabatan tangannya. “tidak juga. hanya luka kecil”, kata Hilman sambil memasukkan tangannya ke saku celananya. “saya pernah punya kakak yang memiliki luka seperti itu. ah, sudahlah. Jangan pikirkan omongan saya. Kalau begitu, saya duluan”, kata Esther dengan senyum kecil kemudian pergi meninggalkan Hilman.

Setelah melihat Esther pergi, Hilman segera melajukan mobilnya ke suatu tempat. Ia mengendarai mobilnya dengan perasaan gelisah. Sesekali ia mengetukkan jari telunjuknya ke stir mobilnya. Butuh waktu sekitar 15 menit, akhirnya Hilman sampai di tempat yang ia tuju. “saya ingin mengunjungi bapak Andi”, kata Hilman cepat. “baik, tuan. Silakan ditunggu”, balasnya. Beberapa menit kemudian, nama Hilman dipanggil dan ia pun masuk ke sebuah ruangan dimana Andi berada.

“ada apa?”, tanya Andi to the point. “sepertinya Esther tahu siapa saya. Apa mungkin Esther sedang menyelidiki latar belakang saya?”, tanya Hilman sedikit panik. “kenapa kamu bisa beranggapan seperti itu?”, tanya Andi tenang. “saya baru saja bertemu dengannya. Dan ia bertanya pada saya apakah saya mengenal seseorang yang bernama Robert”, jawab Hilman cepat. “biarkan saja ia tahu”, sahut Andi. “lagipula dia akan tahu cepat atau lambat”, sambungnya. “tapi bagaimana dengan rencana kita, om?”, tanya Hilman kebingungan. “jalankan seperti yang sudah kita rencanakan”, jawab Andi tetap tenang.

“jika Esther sudah tahu siapa saya sebenarnya, kemungkinan besar, bu Amberly juga akan tahu”, kata Hilman sambil mengerutkan keningnya. “lalu kenapa? Sebenarnya apa yang kamu takutkan, Robert?”, tanya Andi sambil membenarkan posisi duduknya. “saya belum siap untuk menceritakan semuanya. Termasuk tentang kematian istri om, tante Belinda”, jawab Hilman sambil mengusap kasar wajahnya. “dan saya masih takut berhadapan langsung dengan Hardi. Begitupun dengan keluarga saya. Yang mereka tahu, saya sudah mati”, sambungnya.

“rencana kita sudah sangat matang dan tidak mungkin gagal. Tinggal sedikit lagi kita akan berhasil, Robert. Ingat semua yang sudah kita lakukan sampai sejauh ini. Ketakutan mu ini sangat tidak mendasar. Kamu, Esther dan juga Amberly, tujuan kalian sama. Pikirkan itu, Robert! Jangan biarkan emosi menguasaimu. Berpikirlah dengan otakmu!”, kata Andi meninggi, mencoba menyadarkan Hilman. Hilman menarik napas dan kemudian menghembuskannya. Ia terdiam sejenak untuk menenangkan pikirannya. “baiklah, om. Aku akan menemui om lagi nanti”, kata Hilman akhirnya, kemudian meninggalkan ruangan itu.

Di ruangan Amberly. “hey, ada apa?”, sapa Amberly setelah melihat Esther masuk ke dalam ruangannya. “kemarilah, Em”, kata Esther sambil mengayunkan tangannya, memerintahkan Amberly untuk duduk di sofa yang berada di hadapannya. “ada apa sebenarnya?”, tanya Amberly penasaran. “bacalah ini”, perintah Esther sambil memberikan beberapa lembaran kertas pada Amberly. Amberly mengambilnya sambil menaikkan satu alisnya. Kemudian ia membacanya dan mengerutkan keningnya. “apa ini?”, tanya Amberly bingung. “aku tahu siapa Hilman sebenarnya”, kata Esther dengan wajah sedih.

“memang siapa Hilman sebenarnya? dan kenapa wajahmu seperti itu?”, tanya Amberly semakin penasaran. “dulu ayahku pernah membawanya ke rumahku, dulu sekali. apa kamu ingat? Ibuku meninggal karena sebuah kecelakaan?”, Amberly pun mengangguk. “dia datang sebelum hari itu. Setelah hari itu, ayahku dan dia menghilang. Meninggalkanku sendirian”, lanjut Esther sambil menyandarkan tubuhnya di kepala sofa. Amberly hanya diam, tak menanggapinya. Amberly berjalan pelan dan duduk di samping Esther. Kemudian Amberly memeluk Esther sambil mengusap punggungnya pelan. Esther pun membalas pelukannya, berharap bisa mendapatkan energi dari wanita yang ia cintai itu.

AMBERLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang