No, It's Not

1.4K 41 1
                                    

Terdengar suara dering telepon dan Hilman pun mengangkatnya. “Halo! Ada apa?”, sapa Hilman. “aku sudah menghubungimu sejak tadi siang tapi kau tidak mengangkatnya. Aku terus menghubungimu, ponselmu malah tidak aktif. Baru sekarang kau mengangkatnya”, kata Victor panjang lebar. “maaf, Victor. Aku sedang sibuk seharian ini. Aku sedang mengurus kontrak kerja dengan Tuan Albert. Aku juga tidak sadar jika bateraiku habis. Memangnya ada apa? Kenapa kau terdengar cemas?”, tanya Hilman merasa ada yang aneh dengan Victor.

“bu Amberly memintaku untuk menyelidikimu”, jawab Victor cepat. “Apa?!”, pekik Hilman sontak berdiri. “aku juga sering memerhatikan Esther sering bertemu bu Amberly. Sepertinya mereka mulai mengenalimu. Berhati-hatilah!”, pesan Victor.

“terimakasih kau sudah memberitahuku. Akan kupikirkan lagi nanti”, kata Hilman. “aku tetap akan ketahuan cepat atau lambat. Tapi rencana tetaplah rencana”, kata Hilman menatap jauh ke depan.“katakan padaku jika kau membutuhkan bantuan”, kata Victor.

“ah, iya. Apa kau mendapatkan surat undangan reuni juga? tadi siang ada petugas pos yang mengirimnya”, kata Hilman setelah mengingat sesuatu. “benarkah? Aku belum mendapatkannya. Tadi aku terlalu sibuk di pabrik jadi belum sempat ke kantor. Lalu kenapa kau tidak menerimanya untukku juga?”, Hilman mendengarkan Victor bicara sambil berjalan menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa ia makan.

“awalnya aku ingin seperti itu. Tapi aku harus berhati-hati. Jangan sampai ada kecurigaan yang menyangkutpautkan kau dengan aku. Terlalu berbahaya”, kata Hilman sambil menyalakan kompor dan berniat memasak mie instan. “lalu apa kau akan datang?”, tanya Victor. “ke reuni itu”, sambungnya.“entahlah. sepertinya terlalu banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan disini”, secara tidak langsung Hilman mengatakan bahwa ia tidak akan datang.

“aku juga menyarankanmu untuk tidak datang. Lagipula tidak ada kenangan baik disana”, komentar Victor. “baiklah. Terimakasih atas informasinya, Victor. Tetap berhati-hati!”, kata Hilman. “as always”, balas Victor kemudian memutus sambungan teleponnya. Setelah mie instannya matang, Hilman pun memakannya dalam diam.

Colombia, 4 p.m. ‘tok tok tok’, Mark mengetuk pintu suatu rumah. Tak lama, pintunya pun terbuka dan muncullah seorang laki-laki paruh baya yang menyapanya. “permisi, apakah benar ini rumah Pak Ken? Guru dari Colombia International School?”, tanya Mark ramah.

“iya, benar. Maaf, anda siapa dan ada keperluan apa?”, tanyanya. “saya Mark dan saya sedang mencari informasi mengenai murid bapak. Bapak pernah menjadi wali kelas 2-B bukan?”, tanya Mark lagi. “silakan masuk”, kata Ken mempersilakan Mark masuk. “Alessa! Tolong buatkan minum”, kata Ken sedikit berteriak. “okay, dad”, terdengar sahutan dari dalam.

“silakan duduk”, Mark kemudian duduk setelah Ken mempersilakannya. “memangnya informasi apa yang anda butuhkan?”, tanya Ken membuka topik. Mark mengambil kertas yang ia lipat dari kantong jaketnya kemudian menunjukkannya pada Ken. Ia mengambilnya kemudian membukanya secara perlahan.

“darimana anda mengenal mereka?”, Alessa pun datang dengan nampan di tangannya kemudian meletakkan dua cangkir teh di atas meja. “terimakasih”, kata Mark pelan sambil tersenyum ramah. Alessa membalasnya sambil berlalu. Tak sengaja Alessa melihat kertas yang dibawa ayahnya. ‘siapa dia?’, batin Alessa sambil menatap Mark curiga.

“informasi apapun yang bisa bapak ceritakan mengenai mereka saat SMA dulu”, jawab Mark sambil menyalakan recorder di ponselnya secara diam-diam. “hmm, ceritanya cukup panjang dan sepertinya tidak akan selesai hari ini”, canda Ken untuk menyairkan suasana. “i am always listening. Silakan bapak ceritakan dengan nyaman”, kata Mark cepat sambil tertawa kecil.

“apa anda tahu jika Hilman adalah murid pindahan?”, tanya Ken dan Mark hanya mengangguk. “benarkah? Anda bergerak cepat ternyata”, komentar Ken. “yang saya tahu, mereka berdua sangat dekat. Walaupun sebenarnya karakter mereka berdua sangat berbeda. Dulu Victor adalah kapten basket yang membuatnya cukup terkenal di sekolah dulu dan tentu saja memiliki banyak teman”, Ken mulai bercerita.

AMBERLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang