Part 2

7.8K 1.2K 80
                                    

"Aku merindukanmu."

Aku bisa merasakan kehangatan Zen yang membalut tubuh dan hatiku. Deru napasnya mengiringi detak jantungku yang semakin cepat.

"Zen..."

Aku juga sangat merindukannya. Tapi aku tidak tahu harus dengan cara apa mengatakan padanya. Zen membalikkan tubuhku. Napasku tertahan. Jarak wajahku dan wajahnya hanya sekitar satu jengkal. Mata abu-abunya menatapku teduh. Mukaku terasa panas, menahan malu. Namun meski begitu aku tidak bisa mengalihkan tatapanku lagi.

Aku menyentuh pipi Zen. Dia benar-benar nyata. Dia benar-benar

"Aku...aku juga."

Aku bisa merasakan napas Zen yang terembus membelai pipiku ketika wajahnya semakin mendekat. Mataku relfleks tertutup. Hari ini aku ingin melepas rinduku sepenuhnya. Di umurku yang telah menginjak angka 20, aku ingin lebih serius soal perasaan ini.

Kring! Kring!

Sebuah suara dering ponsel mengejutkanku dan Zen. Zen melepaskan pelukannya. Aku sontak mundur. Aku membuang wajah, menahan malu. Ah, selalu saja seperti ini. Waktu seperti tidak pernah mengijinkaku dan Zen untuk melakukannya.

Aku melirik Zen. Dia meraih sesuatu dari sakunya. Dia mengeluarkan ponselnya yang berdering. Dia mengangkatnya.

"Halo, Yah?"

Aku buru-buru angkat kaki dari hadapan Zen sebelum aku salah tingkah membayangkan apa yang baru saja terjadi. Dan aku bisa lebih menjadi salah tingkah jika berharap akan melakukannya lagi setelah Zen menutup teleponnya.

Aku sedang meletakkan buku-bukuku ke rak ketika aku mendengar Zen berseru.

"APA?!"

Seruan Zen yang menggelegar membuatku nyaris menjatuhkan buku-buku yang masih ada di genggamanku. Aku menoleh pada Zen. Wajahnya berkerut panik. Dia melirikku.

Apa yang terjadi?

"Iya, Zen sedang bersama Carissa di sini. Ayah ke sini?"

Aku mengangkat salah satu alis. Mr. Herffey akan ke sini?

"Baik, baik, Ayah. Sampai jumpa."

Zen menutup teleponnya.

"Apa yang terjadi?" tanyaku sambil kembali meletakkan buku-buku astronomiku.

Zen tidak segera menjawab. Sampai aku selesai meletakkan buku-bukuku, Zen masih hanya diam mematung. Aku menatapnya. Melihat ekspresinya antara panik dan bingung membuat firasat buruk membalut perasaanku.

"Apa yang terjadi, Zen?" tanyaku lagi.

"Cariss," suara Zen bergetar. Aku mendekatinya. "Apa kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir.

Dia memandangku dengan tatapan yang tak bisa kubaca.

"Kota kita di bom."

Deg!

Pikiranku langsung kosong seketika. Aku menatap Zen lamat-lamat. Rahangku mengeras. "Jangan bercanda, Zen! Ini tidak lucu!" seruku tegas.

"Aku tidak bercanda. Ayah meneleponku dan mengatakannya. Kita bisa menyetel televisi, ayah tahu lewat berita."

Aku tidak percaya. Aku langsung menyambar remot TV dan menyalakannya. Saluran-saluran hiburan yang kulewati membuat perasaanku kalut. Benarkah kotaku di bom? Zen mengatakannya dengan wajah serius. Dia tidak bercanda. Tapi aku tidak percaya ini.

Sebuah beban berat seakan menghantam kepalaku ketika sebuah saluran berita menampilkan video sebuah pulau dengan asap hitam mengepul tinggi yang diambil dari udara. Judul berita itu membuat perasaanku syok. Kakiku lemas. Aku menjatuhkan tubuhku di sofa.

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang