Part 21

4.8K 804 27
                                    

Kami akhirnya telah memutuskan untuk ikut pada Javera ke Jepang. Kami berpamitan pada Li. Li memberikan kami sedikit bekal uang dan makanan. Pria itu sangat sedih harus melepas kepergian kami. Aku bisa melihat pancaran kesepian dari mata tajamnya.

"Kami pasti akan kembali, Li."

Pria itu tertawa renyah. "Apa kau selalu suka menghibur orang, Carissa? Aku tersanjung kau mengatakan itu, semoga itu bukan hanya basa-basi agar aku tidak sedih."

Aku tersenyum. Aku menyalami tangan kokohnya hangat. "Tentu tidak, Li. Kalau aku ada waktu, aku akan mampir ke sini."

"Ah, kalau begitu kau pasti sangat membutuhkan ini."

Li menyerahkan padaku sebuah kotak kecil hitam. Aku berkerut. Aku menerima kotak kecil itu dan membukanya. Terlihat sebuah lencana dari perunggu. Lencana itu menggambarkan dua kepala orang. Yang satu menggenakan topeng dengan senyuman licik, yang satunya topeng dengan senyuman manis. Di bawahnya terdapat tulisan 'MAFIA CITY'.

"Ini adalah tanda paling baru bahwa kau bisa bolak-balik mampir ke sini."

Aku terkejut. Aku menatap Li girang. "Terima kasih, Li. Aku sungguh-sungguh akan menggunjungimu."

Li tersenyum dan mengangguk. "Aku akan menunggumu."

Aku melambaikan tangan dan segera menyusul teman-temanku yang sudah naik lebih dulu.

"Kau sepertinya sangat mudah mengambil hati Li, ya? Dia biasanya sangat tidak gampang memberikan lencana itu," kata Ve.

Aku tersenyum. "Eh, Ve, apakah ini lencana yang sama dengan punya Al?"

Ve menggeleng. "Al punya versi lama, tapi tetap berlaku. Tapi saat itu Li memberikannya tidak hanya berbentuk lencana, tapi juga dari ponsel untuk jaga-jaga. Tapi sepertinya Li tahu kalau kau tidak membawa ponsel. Atau entahlah, mungkin Li tidak lagi menggunakan ponsel."

Aku hanya ber-oh pendek. Kami berlima berdiri di atas geladak, sedang Javera sudah berada di anjungan kapal. Kapal pesiar Javera memang tidak besar, besarnya mungkin hanya 35 kaki. Tapi untuk kami berenam tidak akan jadi masalah.

Jangkar telah dilepaskan. Perahu perlahan bergerak menjauh. Li di sana melambaikan tangan. Embusan angin yang lembut mengibarkan pakaian jubahnya. Kami membalas lambaian tangannya.

"Sampai jumpa, Li!"

Aku jadi teringat pembicaraanku dengan Li malam itu.

Tapi bukankah memang di dunia ini tidak semua orang mencintai kita, Nak?

Aku tersenyum. Li benar. Kalau semua orang yang kukenal menyukaiku, itu berarti hanya soal waktu bahwa ada diantara mereka yang akan menunjukkan 'wajah aslinya'. Selama itu bukan karena sifatku yang buruk atau menyebalkan, aku merasa beruntung memiliki seseorang yang membenciku.

***

"Hei, Zen! Kau marah padaku?" tanyaku pada Zen yang kembali berdiri di atas geladak. Angin laut berembus tenang, sehingga ombak laut juga tidak terlalu membuat guncangan pada kapal pesiar Javera. Yang lain sedang berada di bangunan kecil di bawah anjungan. Di sana ada beberapa kursi empuk dengan meja dan mesin pembuat kopi juga teh. Beberapa camilan juga tersedia di sana. Javera sudah mengatakan kalau kami ingin mengambilnya tidak apa. Tapi tetap saja aku merasa canggung. Javera lebih memilih untuk tetap di anjungan, memperhatikan laut yang menghampar dari atas sana.

"Tidak, kata siapa?" tanya Zen dingin.

Aku menyipitkan mata. "Jangan bilang kamu cemburu dengan Javera?"

Zen hanya diam. Aku menghela napas panjang. "Karena suatu alasan, Javera jadi tahu hubunganku dan kau. Aku tidak mau Javera membahas itu, itu membuatku malu."

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang