Part 20

4.1K 741 18
                                    


"Kamu Carissa mahawasiswi Astronomi itu, Kan?

Aku tercengang. Otakku langsung memberi sinyal. Aku mengenal pria muda ini. Aku pernah satu kepanitian, bahkan satu divisi dengannya saat kuliah. Astaga! Kenapa bisa teman sekampusku di sini?

"Javera? Javera, bukan?"

Pria berambut pirang acak-acakan itu tertawa. "Nah, iya! Kau ingat aku?!"

Aku tersenyum canggung. Aku menoleh dan mendapat empat pasang mata tatapan tanda tanya mengarah padaku. "Eh, ini Javera. Teman sekampusku di Kobe. Javera, ini teman-temanku," kataku menggenalkan.

Javera menggulurkan tangan untuk mengajak kenalan.

"Al."

"De."

"Ve."

"Zen."

"Hai, perkenalkan namaku Javera. Kalian bisa memanggil Jav. Kalian sepertinya tidak terlalu banyak bicara ya seperti Carissa."

Aku hanya tersenyum. Entah kenapa rasanya jadi sangat canggung. Javera menurunkan tangannya yang sama sekali tidak disambut hangat oleh keempat temanku.

"Hm, Javera, Ini Li Wei, apa kau mengenalnya?"

"Oh, Paman Li, perkenalkan saya Javera. Saya keponakan Xiong Mei. Apa Paman mengenalnya?"

"Ah, Xiong Mei! Saya sangat suka mie ayamnya!" seru Li tiba-tiba.

Javera tertawa. "Anda harus sering menginap di rumah tante saya, Paman. Masakan tante saya yang lain juga sangat lezat."

"Oh, Oh! Aku jadi teringat sesuatu! Kau Javera! Iya, iya, Mei pernah bercerita tentangmu. Pantas kenapa kamu bisa mendapatkan pintu masuk ke sini."

Javera tersenyum. "Benar, Paman Li. Senang bertemu dengan Anda."

Sepertinya aku tidak terlalu khawatir dengan Javera yang sangat cocok dengan Li. Tapi empat pasang mata masih menatapku dan seakan memaksaku meminta penjelasan segera. Aku menatap mereka bingung. "Apa?!"

"Jadi, Carissa, ini yang namanya Zen? Orang yang...hmnf!"

Aku sontak menutup mulut Javera. Aku ingat! Aku benar-benar ingat sekarang apa yang telah kami lakukan ketika menjadi satu divisi di kepanitiaan. Kami, aku, Javera, dan lima anak yang lain, bermain Truth or Dare gara-gara kita sudah kelelahan dan bingung harus berbuat apa. Dan pertanyaan paling biasa yang terjadi ketika memilih Truth adalah 'Kamu suka siapa?'

Toh alasan aku ikut permainan itu juga mereka tidak terlalu tahu kehidupanku. Aku bilang saja Zen. Mereka hanya sekadar tahu Zen adalah orang yang berada bersamaku ketika menyelamatkan kota Lungsod. Tapi selebihnya mereka tidak mengenalnya.

Nah, sekarang, karena Javera mendadak muncul di sini, aku harus siaga sepenuhnya mengingat mereka saat itu sudah menggorek-nggorek informasi tentang aku dan Zen yang dengan santainya kujawab.

Aku menarik tanganku dari mulut Javera dan memberikan tatapan tajam padanya. Aku melirik Zen. Zen memandang Javera dingin. Duh, kalau sudah begini aku yang akan jadi korban.

"Kalian sedang apa di sini?" tanya Javera mengalihkan pembicaraan.

"Kami tidak sedang apa-apa," jawab Al datar ketika aku baru saja membuka mulut berniat menjawab.

Javera ber-oh pendek. "Kau ke sini dengan apa, Jav?" tanya Li.

Javera menoleh dan menunjuk kapal pesiar kecil di dekat batu. "Itu."

Aku melongo. Jadi itu punyanya?

Sebenarnya aku juga tidak perlu terlalu terkejut. Maksudnya, Javera dikenal sebagai mahasiswa yang hobi merantau. Dia satu tingkat di atasku. Tapi dia cukup terkenal karena hobinya yang suka menjelajah alam. Aku tidak tahu ke mana saja dia telah menapakkan kakinya, aku tidak terlalu peduli dengan berita-berita tentangnya. Ada banyak hal yang lebih penting dari itu.

"Nah, bagaimana kalau kalian bergabung dengan Javera? Apa muat Jav jika kepokanan-keponakanku ini ikut?"

Aku menyipitkan mata. Sejak kapan kami jadi keponakan Li?

Javera menatap kami bingung. "Memangnya kalian ke sini naik apa?"

Aku menatap teman-temanku, tapi sepertinya tidak ada yang berniat menjawab. "Kapal kami rusak. Kami tidak tahu harus menggunakan apa."

"Kalian mau ke mana?"

Aku diam. Entahlah, sepertinya aku tidak bisa memberi tahu tujuan kami.

"Aku akan pulang ke Jepang. Apa kau juga, Cariss? Bukannya sebentar lagi kuliah sudah masuk?"

Aku menepuk jidat. Masa bodoh dengan tanggal kalau aku sudah di alam bebas. Sebuah ide muncul mendadak di benakku. "Kau benar! Aku mau pulang ke Jepang dan mereka ingin ikut liburan ke sana. Apa kita bisa menumpang?"

"Carissa!" Zen dan Al berseru berbarengan.

Aku menoleh. Al menatapku lamat-lamat. "Kita perlu bicara."

Aku diam. Ve menarikku mundur dan menjauh dari Javera. Li yang sejak tadi diam hanya mengedikkan bahu. Dia memutuskan untuk mengajak Javera berbicara selagi aku ditarik mundur oleh teman-temanku.

"Jelaskan apa yang terjadi!"

Aku bingung. "Apa yang terjadi? Kau lihat sendiri tadi, kan?"

"Kenapa kau tiba-tiba meminta tumpangan?"

Aku menghela napas panjang. "Lalu mau bagaimana? Kita tidak punya transportasi lain, kan? Lagi pula temanku itu juga ke Jepang, aku punya alasan logis untuk bisa menggantarkan kita ke Jepang. Ini kesempatan!"

"Tapi kita tidak bisa ambil risiko dengan ikut orang lain?"

"Kita harus mengambil risiko untuk bisa sampai tujuan, Ve. Yang bisa kita lakukan adalah meminimalkan risiko itu. Selama perjalanan, jadilah orang muda biasa yang memang bierniat liburan. Lagi pula senjata kita semua sudah bisa disembunyikan."

Mereka diam sejenak.

"Aku tetap tidak setuju," kata Zen.

Aku menatap Zen. "Ayolah, Zen. Kau mau berenang sampai ke Jepang."

"Tidak apa kalau memang itu cara agar aku tidak bersamanya."

"Jangan gila, Zen. Aneh-aneh aja kau ini!'

"Tawaran Carissa boleh juga, Al," kata De. "Carissa benar kita tidak punya transportasi untuk bisa ke Jepang. Lagi pula Jepang juga tempat Carissa kuliah."

Al melirik De. Dia menghela napas panjang. "Yasudah. Karena De percaya, aku juga ikut percaya. Tapi kalau terjadi sesuatu apa-apa..."

"Itu yang namanya risiko, Al. Belum tentu juga, kan, kita terjadi apa-apa," potongku segera.

Al mengangkat alis. "Oke, kalau dia mau menerima kita, kita akan ikut. Asal dengan satu syarat, dia benar-benar bisa membawa kita masuk ke Jepang."

Aku menatap Al sejenak. Aku menyadari apa yang sedang dikhawatirkan Al. Aku mengangkat tangan, menyuruh mereka untuk menunggu. Aku melangkah pergi menghampiri Javera dan Li.

"Javera, bisa kita berbicara sebentar?" tanyaku.

Javera menoleh. "Iya, iya, ada apa?"

"Apa kita benar-benar bisa ikut denganmu ke Jepang?" tanya Carissa.

Javera bergumam. "Bisa. Aku juga hanya sendiri. Tambah lima orang tak akan jadi masalah."

"Kau benar-benar bisa membawa kami masuk Jepang? Maksudku, ya, kita ini tidak punya paspor."

Javera mengangkat alis. Dia tertawa. "Tenang saja, Cariss. Kau pikir aku bawa? Aku juga tidak bawa. Benda itu hanya akan merepotkanku."

Aku mengembuskan napas lega. Kalau begitu, ini pasti tidak akan jadi masalah. Javera tersenyum miring. "Tapi kau sungguh yakin mau ikut denganku? Pacarmu itu sepertinya tidak suka denganku."

Aku menoleh dan menemukan tatapan nanar Zen padaku dan Javera.

____

Maafkan diriku yang baru bisa update :')

Jangan lupa tinggalkan jejak 🌟🌟🌟

-Ai💖-

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang