Aku duduk di kursi kayu di teras rumah kayu itu. Dari celah dedaunan, aku bisa melihat langit tampak cerah dengan semburat jingga yang mewarnai. Burung-burung berkicau. Angin berembus lembut.
Beberapa jam yang lalu, Kahuko mengirim pesan pada kami. Dia mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Dia berhasil lolos, aku sangat bersyukur mendengar kabar itu. Dia sudah berada di tempat persembunyiannya. Dan dia meminta maaf pada kami karena dia tidak bisa membantu kami lebih jauh. Dia menyuruh kami untuk berjuang berlima, tanpa dirinya.
Itu kabar buruk. Aku merasa tenang jika ada Kahuko. Kalau hanya kami berlima, sekelompok orang muda yang emosinya masih kadang perlu dipertanyakan. Aku tahu kami sudah beranjak dewasa. Tapi aku merasa kami tetap saja butuh seseorang yang sudah makan asam garam kehidupan lebih banyak untuk membimbing kami.
Tapi yasudahlah. Kalau sudah begini aku juga tidak bisa mundur lagi.
Aku mendengar suara langkah kaki diikuti dengan suara kayu berderit. Aku menoleh. Aku melihat De baru saja datang sambil membawa pakaian kotornya. Memang, setiap kami ingin kamar mandi, kami harus pergi ke alam. Sekitar lima ratus meter dari sini ada sebuah danau yang airnya sangat jernih. Aku tadi mandi paling pertama dan Ve meminjamkan bajunya untukku. Sebuah kaos putih lengan pendek, jaket hitam, dan celana kain hitam. Ini jauh lebih baik daripada gaun mewah itu.
"Sore, Carissa," sapa De.
Aku tersenyum tipis. Pandanganku menangkap tangan De yang menggenggam sebuah gunting. "Kau habis apa, De?"
"Aku baru selesai mandi. Sekalian juga merapikan rambut."
Aku menatap rambut De yang sepertinya tampak sama saja dengan terakhir kali aku melihatnya. Atau mungkin aku yang tidak terlalu memperhatikannya?
"Boleh kupinjam, De?" tanyaku.
"Buat apa?"
"Merapikan rambut juga."
De memandangku sejenak kemudian mengangguk. Dia menyerahkan gunting itu padaku. "Langsung pakai saja, tadi sudah kubersihkan."
"Terima kasih, De."
De masuk ke rumah. Aku menatap gunting itu. Belakangan ini pikiranku makin kacau dan suasana tubuhku terasa sangat gerah. Aku mengusap rambut hitamku yang kukuncir kuda. Aku menghela napas panjang. Aku mencintai rambut panjang. Tapi kalau sudah membuatku sering pusing dan gerah, aku jadi malas mengurusnya.
Tanpa berpikit panjang lagi, aku memotong rambutku. Kunciranku terlepas begitu saja ketika mulut gunting memangkas ganas rambutku. Rambut hitamku tergerai sampai ke bahu. Ini sudah cukup, tidak terlalu panjang, tapi juga tidak pendek.
"Cariss?"
Aku menoleh. Ve menatapku heran. "Kamu memotong rambutmu asal?"
Aku menyengir. "Maaf, Ve, aku sudah terlalu gerah."
Ve tertawa kecil. Dia menghampiriku. "Sini, kubantu merapikan."
***
Malam menjelang begitu cepat. Angin berembus lebih kencang, membuat kayu menderit keras mengisi keheningan. Tirai yang menutup jendela berkibas sedikit meski sudah diikat agar tidak membuka.
Kami berlima duduk diam di dalam rumah, tidak ada satu pun yang bicara. Aku, Ve, dan Zen duduk di karpet. De memilih untuk duduk di dekat pintu, bersandar pada tembok kayu. Sedang Al duduk di atas kasur. Di atas meja di depanku ada sebuah lampu teplok yang memberi penerangan. Sedang dua yang lain diletakkan di atas meja kayu.
"Kau terlihat lebih segar dengan rambut seperti itu, Cariss," kata Zen pelan.
Aku tersenyum. "Aku juga merasa begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost City
Science Fiction⚠⚠ ATTENTION ⚠⚠ Sekuel STAND UP. Disarankan membaca STAND UP lebih dulu. Aku berpikir setelah wakil wali kota bermuka dua bernama Roynald itu mati, Lungsod, kotaku benar-benar telah aman. Namun ternyata tidak begitu. Seorang pria yang mengaku sebaga...