Part 3

6.4K 1.2K 57
                                    

Aaron membantuku berdiri. Dia menatapku bingung. "Kenapa kau bisa ada di sini?"

"Astaga, Aaron! Aku beryukur kau masih hidup!" Aku memeluknya. Aaron terlihat baik-baik saja. Hanya wajahnya penuh dengan coreng-moreng hitam.

"Carissa!"

Sebuah seruan membuatku dan Aaron menoleh. Aaron terkejut melihat kehadiran Zen dan Mr. Herffey yang terengah-engah.

"Kau, Zen?! Kau sudah kembali?!"

"Aaron, senang melihatmu kembali."

"Kami melihat semuanya dari televisi. Apa yang terjadi?" tanya Mr. Herffey.

Wajah Aaron mendadak lesu. Dia mengusap rambut hitamnya yang berantakan. "Semuanya benar-benar tidak terduga. Ledakan itu terdengar bahkan ketika matahari belum terbit dari segala penjuru kota, seakan kembang api bersahut-sahutan. Tapi ini bukan tahun baru."

"Aku tidak tahu kapan bom itu ditanam dan bagaimana ceritanya tidak ada yang mengetahuinya. Tapi tempat-tempat umum menjadi sasarannya. Termasuk sekolah militerku."

"Bagaimana dengan Smith?" tanya Zen.

"Hari itu aku dan Smith sedang tidak ada di sekolah. Kami ada di markas rahasia kita yang dulu."

"Markas rahasia itu, apa baik-baik saja?" serbu Zen lagi.

Aaron mengangguk. "Satu-satunya tempat yang tidak menjadi sasaran adalah Departemen Keamanan. Mungkin karena penjagaannya yang sangat ketat. Tapi tetap saja gedung itu kena imbasnya meski tidak terlalu parah."

"Triv dan Sara? Bagaimana dia?" tanyaku.

Aaron diam. Dia memandangku dengan tatapan sedih. Aku tersentak. "Apa yang terjadi dengan mereka?"

"Sara baik-baik saja karena dia berada bersama kami di markas rahasia. Tapi Triv... dia kritis."

Aku mendesah. Sejak tadi aku sudah mempersiapkan diri jika aku mendengar kabar buruk tentang teman-temanku, tapi nyatanya aku masih tidak siap. Tiga bulan yang lalu saat dia mengantarkanku ke bandara karena aku akan kembali ke Jepang, Aku teringat Triv berjanji akan mengunjungiku ketika aku liburan. Tapi hari ini, janji itu seakan melayang hilang begitu saja.

"Bagaimana dengan keluargaku?!" seruku teringat ibu dan Teresa.

Aaron menghela napas. Aku mendelik menatap Aaron. Jentungku berdetak kencnag bukan main.

"Adikmu menunggumu di Departemen Keamanan. Lebih baik kita ke sana sekarang."

Aaron memimpin kami menyeruak kepanikan pagi di Kota Lungsod yang menyedihkan. Asap-asap tebal yang menyelimuti kami membuat kami sesekali terbatuk.

"Kau gunakan ini saja," kata Zen menyerahkan sebuah kain merah padaku.

"Bagaimana denganmu?"

Zen menutupkannya ke mulutku. "Aku baik-baik saja."

"Terimakasih, Zen."

Kami sampai di gedung Departemen Keamanan. Gedung itu memang tampak lebih baik daripada tempat yang lain. Gedung itu masih menjulang tinggi dengan keadaan baik, hanya halamannya yang rusak parah dan cat dindingnya yang menghitam.

Kami masuk. Aku tercengang melihat pemandangan yang menyapa kami. Aku melepas penutup mulutku.

Lantai dasar yang biasanya terlihat lengang kini terlihat penuh sesak dengan kehadiran orang-orang yang berhasil selamat. Keadaan di dalam sini tak kalah menyedihkannya daripada di luar. Aku bisa melihat seorang wanita dengan wajah dan pakaian serba hitam mengendong anak kecil yang menangis kencang. Di bagian lain aku melihat seorang wanita paruh baya sedang membisikkan sesuatu pada seorang laki-laki muda yang kedua kakinya bersimbah darah yang sedang meringis kesakitan. Di sudut ruangan aku melihat sepasang laki-laki perempuan berpelukan dan menangis. Kepedihan seakan ikut menyebar ke seluruh penjuru ruangan.

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang