Part 12

5.2K 831 49
                                    

Ruangan kamar Ve sangat luas kalau hanya dihuni satu orang. Ruangan itu didominasi dengan warna merah muda dan putih. Sangat feminim, benar-benar menunjukkan sosok Ve yang anggun. Ranjang berukuran besar dengan sprei merah muda, lemari putih besar, sofa-sofa putih, tertata rapi di dalam sana. Lantainya di lapisi karpet bewarna merah muda. Beberapa boneka beruang duduk manis di atas ranjang. Namun di sisi tembok di dekat rak buku, terpajang sebuah senjata laras panjang. Di samping laras panjang itu ada etalase kecil berisi berbagai macam model pisau dan sejenisnya. Aku menelan ludah. Sepertinya aku mengerti kenapa Ve tidur sendirian.

"Apa kau di sini sendiri, Ve?"

Ve mengangguk. "Tidak ada yang tertarik memilihku menjadi teman tidur di sini. Tapi tak apa. Aku suka sendiri."

"Apa Al dan De pernah ke sini?" tanyaku lagi. Aku tidak yakin mereka berdua betah berada di tempat ini.

Ve tertawa kecil. "Mereka alergi dengan kamarku. Kalau Al ke sini dia akan membawa karung khusus untuk menyembunyikan boneka-bonekaku. Dia tidak suka melihatnya."

Aku tertawa. Itu benar-benar menunjukkan sosok Al. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku meraih benda balok bening dari sakuku. Foster memberikan ini padaku sebelum berangkat untuk segera mengabari mereka.

"Aku harus mengabari temanku di Lungsod, Ve. Apa tidak masalah?"

Ve mengangguk. "Aku akan kamar mandi dulu. Anggap saja ini kamarmu sendiri, Cariss. Jangan malu-malu kalau kau mau menjajah tempat ini.

Aku tersenyum. "Terima kasih, Ve."

Aku berjalan menuju salah satu sofa dan duduk di sana. Aku memperhatikan spasta pemberian Foster. Ada sebuah pesan di sana. Pesan itu menyuruhku untuk menghubungi mereka secepatnya jika aku sudah sampai. Aku segera menghubungi mereka.

Tidak butuh waktu lama agar panggilan videoku terjawab oleh mereka. Layar yang gelap berubah terang dengan sekelompok remaja yang tersenyum. Aku tertawa melihat mereka. Ini penyambutan yang menarik sekali.

Smith, Aaron, Sara, Foster, dan tentu saja adik kecilku yang manis, Teresa, bersahut-sahutan menyapaku dari sana.

"Halo kalian semua! Senang melihat kalian baik-baik saja."

"Apa kakak baik-baik saja?"

Aku mengangguk. "Seperti yang kau lihat, Teresa. Kakak tidak kekurangan sedikit apa pun."

"Apa yang kau lakukan di sana? Apa itu kamarmu? Sepertinya luas sekali."

Aku tersenyum. "Entahlah, aku masih belum tahu. Iya, aku di sini bersama seorang gadis."

"Apa?! Kau tidak tidur dengan Zen?!"

Aku mendelik mendengar ucapan asal Aaron. Sara dan Teresa menatap datar Aaron. Sedang Smith justru ikut tertawa. Aaron terkekeh. "Bercanda, bercanda, Cariss. Ngomong-ngomong ada seseorang yang ingin berbicara."

Aku berkerut. Seseorang?

Aaron yang memegang spasta di sana membawaku melalui layar menuju ke suatu tempat. Sebuah ranjang dengan seorang gadis sedang duduk sambil membaca di sana. Aku terkesiap. Gadis itu mengangkat kepalanya dari buku yang dia baca ketika Aaron memanggil namanya.

"Triv!"

"Carissa..."

Ah, andai saja aku berada di sana, aku akan langsung menyerbunya dengan pelukan. Aku tersenyum haru. "Bagaimana kabarmu, Triv?"

Triv tersenyum. Dia masih terlihat lemah. Selang masih terpasang di tubuhnya. Tapi dia terlihat lebih baik dari saat aku pergi meninggalkannya. "Aku baik-baik saja, Carissa. Maaf aku tidak bisa mengantar kepergianmu."

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang