Part 32

4.6K 606 102
                                    

Lima belas menit berlalu tanpa kejadian apa pun. Keenam anak muda itu hanya duduk bersimpuh bersandarkan pada dinding. Sesekali menatap pasrah kaca bening yang telah membagi ruangan itu menjadi tiga bagian, memisahkan setiap mereka menjadi tiga kelompok.

"Jadi kita harus apa?" tanya Carissa putus asa.

"Menunggu," balas Javera sekenanya.

"Menunggu untuk apa? Menunggu kaca itu pecah begitu saja?" tanya Carissa menoleh pada dinding kaca di kanannya, di sana dia bisa melihat Al dan Zen yang juga hanya diam, seperti kehabisan energi dan kata-kata. Zen meliriknya, Carissa tersenyum. Zen ikut membalas senyumannya. Bibir Zen komat-kamit, membentuk kata 'maaf' yang membuat Carissa berkerut.

Maaf karena tadi bersikap kasar.

Menyadari kalimat apa yang Zen katakan, Carissa hanya menggeleng dan tetap tersenyum. Dia tidak akan menyalahkan Zen jika tiba-tiba pria itu akan marah. Emosinya sendiri juga jadi labil saat ini. Posisi mereka tidak jelas. Sesekali dibiarkan seperti ini, lalu tiba-tiba diserang seperti tadi. Ingin rasanya dia beteriak dan menangis. Tapi dia mencoba untuk menahannya.

"Menunggu sesuatu terjadi," kata Javera akhirnya setelah diam cukup lama memperhatikkan Carissa dan Zen.

Carissa menoleh dan menatap Javera yang kini memandang alas karpet dengan tatapan yang tak bisa dia tebak. Carissa menghela napas panjang. "Kau benar. Mungkin sebentar lagi kita akan kembali di serang."

Suasana kembali hening beberapa saat ketika kemudian terdengar suara mendesing pelan. Carissa mengangkat kepalanya dari sikunya. Tubuhnya menegang. "Suara apa itu?"

Carissa dan Javera menoleh saat di tengah ruangan mereka yang telah tersekat dinding kaca itu, sebuah lubang berbentuk lingkaran terbuka, seperti pintu bawah tanah yang mereka jumpai di atas tadi. Carissa menoleh ke ruangan Al dan Zen. Di sana juga ada lubang yang sama yang membuat Al dan Zen kebingungan. Sudah dipastikan De dan Ve mendapatkan hal yang sama.

Carissa berjalan mendekati lubang itu, menyusul Javera yang lebih dulu ke sana.

Carissa tidak bisa melihat apa pun. Hanya ada kegelapan di dalam sana. Carissa menatap Javera ragu.

"Jadi ini penyerangan selanjutnya? Apa kita harus mengikuti ini?"

"Kalau kau memang ingin bertemu dengannya, jelas kau harus mengikuti sistem penyerangan yang melelahkan ini. Kalau tidak mau, seharusnya kau menyerah sejak awal. Karena aku rasa, semuanya sudah terlambat untuk menyerah sekarang. Tidak ada jalan lain selain mengikuti jalur yang dia bikin."

Carissa meringis. Javera benar. Awal sekali, dia begitu semangat untuk bertemu dengan pria itu, Ellard Demitro, seseorang yang telah menghancurkan kotanya. Awal sekali, dia bertekad kuat untuk memburu pria tak berhati itu. Tapi sekarang, dia bahkan ragu untuk terus melangkah. Jika dia ingin mengakui, pria itu benar-benar telah mengacaukan hatinya dan teman-temannya. Sedih.

"Aku akan masuk."

"Tunggu!" seru Carissa menahan tangan Javera. "Kita harus memberi isyarat yang lain."

Carissa mengalihkan pandangan kepada Al dan Zen. Kedua pria itu menatap Carissa heran. Carissa memberi isyarat untuk mereka masuk.

Kau Gila?!

Sebaris kalimat yang Al katakan sudah bisa ditebak oleh Carissa. Carissa hanya mengedikkan bahu. Dia segera bergerak ke sisi sekat yang lain dan melihat De dan Ve yang menatap lubang itu bingung. Carissa juga memberi isyarat pada mereka untuk masuk. Tidak seperti Al dan Zen, kedua orang itu mengangguk meski Carissa tahu bahwa mereka ragu-ragu. Tapi dia bisa percaya pada De dan Ve.

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang