"Kalian adalah gadis yang kuat," bisik Mr. Herffey.
Tidak. Hari ini aku tidak ingin kuat. Aku tidak ingin berbohong bahwa alasan aku menjadi kuat selama ini adalah karena kehadiran ibu. Ayah yang pergi telah memadamkan separuh semangat hidupku. Tapi kehadiran ibu seolah membangkitkannya kembali. Dan hari ini, seluruh semangat hidupku benar-benar padam.
Setidaknya untuk saat ini.
Aku berjalan menghampiri kasur di mana ibu tengah tertidur. Noda merah dan hitam tergores manis di wajahnya yang terlihat begitu damai. Tanganku bergetar menyentuh wajah ibu. Wajah yang baru kusadari telah semakin menua. Pipinya yang kasar terasa dingin. Rasa sesak membelenggu hatiku. Aku mencium keningnya. Aku mencium pipinya. Air mataku semakin deras mengalir.
Dia ini ibuku. Seseorang yang telah melahirkan aku. Tapi aku tidak bisa bertemu dengannya untuk yang terakhir kali. Aku terlalu sibuk di Jepang mengejar sarjanku.
Aku jarang bertemu ibuku. Aku jarang mendengar suaranya. Aku tidak pernah mendengar keluh kesahnya. Aku belum sempat mengucapkan terimakasih kepada wanita suci yang telah mendidikku selama 20 tahun ini. Aku tidak pernah menyampaikan pada ibu betapa aku merasa beruntung dilahirkan dari rahimnya. Aku benr-benar malu pada diriku sendiri. Aku merasa menjadi anak paling durhaka di seluruh dunia ini.
"Ibu, maaaf...."
Sebanyak apa pun aku meminta maaf pada ibu, ibu tak akan pernah mendengarnya lagi. Ibu tak akan memeluk lagi. Ibu tak akan mengelus kepalaku lagi dan mengatakan. "Jangan menyerah, Nak. Ibu selalu mendukungmu."
Tidak ada lagi.
Ayahku telah pergi. Hari ini ibuku menyusul. Aku memalingkan wajahku pada Teresa yang telah berdiri di sampingku. Matanya yang merah masih terus dibanjiri dengan air mata. Dia sesenggukan.
Aku mengusap pipi Teresa lembut. "Teresa, kakak selalu ada di sini. Kakak selalu ada untuk Teresa. Teresa jangan sedih ya," kataku berusah menghiburnya.
Teresa meletakkan kepalanya di atas pundakku.
Aku tidak boleh egois lagi. Apa pun yang akan terjadi setelah ini, Teresa lebih penting daripada kehidupanku. Masa depan Teresa harus lebih bersinar dariku. Untuk ayah dan ibu yang telah pergi meninggalkan kami, aku tidak akan mengecewakan mereka. Mungkin ini memang sudah waktu yang tepat bagiku untuk bisa berdiri melanjutkan hidup tanpa mereka.
Semangat hidupku hanya padam. Suatu saat akan membara lagi. Tidak hilang.
***
"Maafkan aku dan Smith, Cariss, kami bingung bagaimana harus mengatakan ini padamu," kata Aaron ketika aku keluar dari ruangaku. Mereka sudah berdiri menunggu di depan ruanganku bersama dengan Zen.
Aku tersenyum lemah. "Aku juga akan seperti itu. Kau tak perlu minta maaf."
"Maafkan aku juga, Cariss. Aku..."
Aku merangkul Sara. "Sudah, sudah, Sara. Terima kasih kau sudah menjaga adikku."
Sara memelukku. "Jangan berterima kasih. Itu sudah menjadi kewajibanku."
"Jadi, kapan ibuku dikuburkan? Lebih cepat lebih baik," kataku. Aku tidak tega melihat Teresa yang masih terus-terusan menangis. Tapi ketika aku keluar, dia sudah jatuh tertidur di pangkuan Evan. Ada Browlf yang menenaminya.
"Dengan keadaan seperti ini, mungkin pemakaman ibumu baru bisa dilakukan dua atau tiga hari lagi, Cariss. Ceric akan mengurus semuanya. Sekarang dia masih sibuk menjadi relawan penolong. Tapi kami bahkan juga tidak tahu apakah makam dalam keadaan baik. Tapi mengingat makam yang terletak jauh dari pusat kota, aku harap tidak ada kerusakan parah di sana," jawab Smith.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost City
Science Fiction⚠⚠ ATTENTION ⚠⚠ Sekuel STAND UP. Disarankan membaca STAND UP lebih dulu. Aku berpikir setelah wakil wali kota bermuka dua bernama Roynald itu mati, Lungsod, kotaku benar-benar telah aman. Namun ternyata tidak begitu. Seorang pria yang mengaku sebaga...