Part 17

4.9K 836 16
                                    

Sepanjang perjalanan hanya ada lautan yang menghampar luas. Awan-awan putih di langit seakan berarak mengikuti kami. Burung-burung mengepakkan sayapnya terbang bebas di udara. Ini sudah berjalan pagi keenam kami terombang-ambing dilautan. Hari ini lautan sangat bersahabat. Hanya sesekali ombak besar menggoyangkan hebat perahu karet kami. Tapi tidak selalu seperti itu.

Tepat malam ketiga, kami mendapat masalah besar. Al bilang perahu karet mereka menggunakan bahan terbaik yang tahan terhadap ombak. Tapi tetap saja, perahu yang cukup besar itu sangat kecil kalau dibandingkan dengan ombak selautan. Malam itu angin berembus kencang. Ombak menggulung tinggi. Kami semua panik. Al terus bilang bahwa mereka akan baik-baik saja, tapi wajahnya sungguh tidak meyakinkan. Kami bertengkar ditemani angin yang ikut ribut. Dan hanya satu yang berhasil menyelesaikan pertengkaran kita. Perahu karet kami akhirnya terbalik.

Kami pontang-panting menyelamatkan diri. Kami tidak sempat memakai pelampung. Al langsung memberi perintah untuk berpegangan erat pada badan perahu. Dan begitulah kami akhirnya harus bertahan kedinginan di lautan malam. Beruntung ombak segera berhenti setengah jam kemudian. Aku tidak tahu apakah lima menit setelahnya aku bisa terus bertahan. Bahkan Ve nyaris pingsan kembali.

Matahari terbenam dan terbit memberi kami sedikit hiburan di tengah lautan tanpa hiburan apa pun. Ketika malam menjelang, galaksi bima sakti yang membentang di langit bersama dengan ribuan bintang menjadi penutup malam yang indah.

Jika kulihat dari peta yang di bawa Al, pulau markas Summer Triangle masih berada di kawasan asia. Tapi entahlah kenapa kami tidak segera sampai ke tempat tujuan.

"Apa masih jauh?"

"Seharusnya hari ini sampai," kata Al sambil menatap petanya yang jadi lusuh akibat tercebur di laut juga.

Sepanjang perjalanan kami tidak terlalu sering membahas rencana kami. Hanya beberapa kali, sisanya kami justru lebih sering bercanda, bercakap basa-basi, atau lebih memilih tidur meski matahari masih bersinar di langit.

"Ngomong-ngomong apa kita tidak perlu paspor?" tanyaku. Sepanjang perjalanan dia sama sekali tidak pernah kepikiran hal itu sampai detik ini.

Al tersenyum miring. "Meskipun kami sudah bukan mafia, tapi mungkin beberapa keahlian kami masih harus terus kami lakukan."

Aku mengangkat alis, tidak paham dengan maksud ucapan Al barusan.

"Kita akan masuk secara ilegal," jawab Ve.

"Apa?"

"Sesekali menjadi manusia yang pemberontak tak ada salahnya, kan? Lagi pula kita juga tidak sedang dalam misi kejahatan atau sebagainya. Kita hanya mampir sebentar ke sana. Ya tidak, Zen?" tanya Al sambil melirik Zen.

Zen mengedikkan bahu. "Aku orang yang paling sering melanggar aturan di WPF."

Al tertawa. "Aku sudah bisa melihat itu."

"Apa tidak ketahuan?" tanyaku khawatir. Seumur hidup aku tidak pernah melanggar hukum yang sampai separah itu. Aku terbiasa hidup sebagai manusia yang taat aturan. Aku tidak siap kalau diumurku yang baru saja menginjakkan angka 20 harus berakhir di penjara.

"Tidak. Itu tempat khusus. Tidak sembarang orang bisa masuk."

Aku berkerut mendengar ucapan De. Bukankah itu justru kabar buruk?

"Dan kami, termasuk orang yang bukan sembarangan."

***

Al bilang kami sebentar lagi akan sampai ketika langit telah menggelap. Sekitar sepuluh meter di hadapan kami ada menara mercusuar yang menyalakan lampu sorotnya menyapu ke segala arah. Jantungku berdetak kencang. Meski Ve mengatakan jangan khawatir padaku, tetap saja aku kahwatir. Aku tidak pernah ke tempat ini. Aku tidak pernah melanggar hukum.

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang