Rumah itu tua, setua perabotannya yang telah usang. Sebagian di makan rayap, sisanya menjadi tempat sarang laba-laba. Di dalam sana, ada sebuah dipan tempat tidur dengan kasur tipis yang berjamur. Di sudut yang lain, terdapat meja dan kursi kayu yang dua kakinya sudah patah, di makan rayap. Alasnya hanya tanah yang beberapa bagian tertutup karpet yang telah berdebu.
Triv berusaha mengatur napasnya. Bau yang tidak sedap di tambah debu yang beterbangan membuat dirinya was-was kalau asmanya mendadak kambuh. Rumah itu tampak semakin kecil dengan enam orang yang berkeliling di dalamnya.
"Jelas ada pintu rahasia di sini. Cara lama, cara kuno, mudah ditebak," kata Al seraya mengangkat kasur dari dipan, berharap menemukan sesuatu yang menarik di sana.
"Itu sudah jelas, Al, tapi masalahnya kita tidak tahu di mana pintu rahasia itu," balas Carissa.
De berhenti menatap karpet merah yang samar-samar warnanya karena tertutup debu. Karpet itu tidak besar, tapi sepertinya cukup menarik untuk diangkat dari sana. Javera mendekati De, seolah bisa membaca pikirannya.
"Mau kubantu mengangkatnya, De?" tawar Javera. De tersenyum.
Carissa, Ve, Al, dan Zen menoleh menatap Javera dan De yang bersiap mengangkat karpet.
"Ide bagus, De," kata Zen ikut menghampiri mereka.
"Lebih baik kau menjauh, Ve. Debunya terlalu banyak," kata Al mengingatkan. Ve menurut saja daripada membantu tapi justru akan membawa masalah baru. Carissa menemaninya sedangkan Al ikut membantu mengangkat karpet.
Karpet itu cukup tebal dan sedikit berat untuk diangkat. Debu-debu memenuhi udara ruangan ketika empat laki-laki itu menyingkirkan karpet ke sudut yang lain, membuat mereka terbatuk-batuk. Namun De benar, di balik karpet itu menyimpan sebuah pintu rahasia. Itu adalah sebuah pintu kayu berbentuk persegi dengan gagangnya dari besi yang telah berkarat. Entah sudah lama pintu itu di sana, atau sengaja di pasang model tua seperti itu.
Semuanya mendekat, termasuk Carissa dan Ve, dan mengelilingi pintu itu.
"Apa yang ada di bawah sana?" tanya Zen menduga-duga.
Al mengedikkan bahu. "Seekor monseter mungkin," kata Al sekenanya. Lelaki itu lebih memilih untuk langsung menarik gagangnya untuk membuka pintu itu.
Gelap.
Carissa memandang teman-temannya tak yakin. "Serius ini jalannya?"
Tidak ada yang menjawab. Al bahkan juga terlihat ragu-ragu. Kegelapan itu seolah menggambarkan bahwa itu hanyalah lubang tak berdasar.
"Biar aku yang turun dulu," kata Javera memutuskan. Dia melangkah mendekati lubang itu.
"Kau yakin?" tanya De.
Javera diam. Wajahnya menyiratkan keberanian yang diada-adakan, sebenarnya dia sendiri juga tidak yakin. Tapi dia ingin mencoba.
Javera mulai melangkahkan kakinya masuk. Dia menelan ludah. Kakinya berusaha menggapai-gapai sesuatu di bawah sana.
Bak!
Javera menghela napas lega ketika satu kakinya berhasil menapaki sesuatu. Dia menoleh. "Sepetinya ada tangga di bawah sini."
"Kalau begitu kita masuk berpegangan. Aku dibelakang Javera, kemudian Ve dan Carissa, lalu Zen dan De kalian di belakang."
Mereka mengangguk. Al segera berpegangan tangan pada Javera, kemudian disusul Ve, Carissa, Zen, dan terakhir De. Menjadi yang paling depan membuat Javera was-was. Dia harus sangat berhati-hati menjejakkan kakinya di anak tangga berikutnya. Terlebih ketika kini seluruh tubuhnya telah tenggalam dalam kegelapan. Hanya ada sedikit pencahayaan dari lubang pintu di atas sana, tapi itu sangat tidak membantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost City
Science Fiction⚠⚠ ATTENTION ⚠⚠ Sekuel STAND UP. Disarankan membaca STAND UP lebih dulu. Aku berpikir setelah wakil wali kota bermuka dua bernama Roynald itu mati, Lungsod, kotaku benar-benar telah aman. Namun ternyata tidak begitu. Seorang pria yang mengaku sebaga...