"Li berbeda dengan Kahuko. Kalau Kahuko pendiri Dark Mortal Agency, sebuah agen rahasia, Li adalah pendiri tempat ini. Tempat para mafia sering memasok senjata secara bebas."
Aku tersedak menatap Al tak percaya. Aku meliirik Li. Pria itu tersenyum. "Dulu, tempat ini jauh lebih buruk dari yang kau lihat, siapa namamu, Nak, Carissa?"
Aku mengangguk.
"Aku dan Kahuko memang pada awalnya tidak sejalan. Kami bertengkar. Bertengkar sangat hebat. Kami dulu saling membenci. Tapi ternyata masih ada rasa cinta persaudaraan antara aku dan dia. Akhirnya kami sepakat untuk tetap menjalani takdir kami masing-masing. Aku memperbaiki tempat ini, aku membuat tempat ini juga sebagai tempat orang-orang yang membutuhkan perlindungan. Namun karena pada dasarnya dulu di sini memang markasnya para mafia, mereka masih banyak di sini. Berbagai macam senjata banyak di jual sini. Kau tak perlu surat lisensi apa pun untuk membelinya."
"Tapi tenang saja, di sini semuanya hidup damai. Para mafia dan penduduk biasa hidup saling menguntungkan. Penduduk biasa berjualan kebutuhan-kebutuhan hidup, sedang para mafia bertugas menjaga keamanan di sini. Penjaga mercusuar itu juga seorang mafia. Terlepas dari apa yang mereka lakukan di luar tempat ini aku tidak peduli. Kekuasaanku berada di tempat ini dan ketika di sini semua orang harus mematuhinya. "
Aku ber-oh panjang. Semakin jauh aku berkelana, semakin banyak hal yang aku pelajari. Dunia itu kadang terlihatnya abu-abu. Bingung membedakan mana yang sebenarnya baik mana yang jahat. Lalu aku bertemu dengan banyak orang. Perlahan-lahan aku mulai bisa mengetahui mana yang baik secara tulus atau palsu.
"Nah, Li, kami ke sini karena kami ingin membeli senjata. Kami pergi secara mendadak, jadi kami tidak mambawa apa pun kecuali barang-barang darurat. Apa kau bisa mengantarkan kami?"
Li mengangkat alis. "Membeli, Nak? Sejak kapan kau mengeluarkan uang di tempat ini?"
Al tertawa. De dan Ve tersenyum. Aku menggaruk-nggaruk kepala. Sepertinya aku tidak bisa mengikuti jalan bicara mereka.
"Kami tidak pernah membayar apa pun di sini. Semua ditanggung oleh Li," bisik Ve.
"Ah...."
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu? Apa kalian lelah?" tawar Li.
"Tidak masalah, Li. Teh buatanmu ini memang sangat majur menghilangkan lelah badan," kata De.
Li tersenyum. "Ya, sampai-sampai sepertinya ada yang tidak terlalu peduli dengan pembicaraan ringan kita dan memilih berduaan dengan cangkir teh saja."
Tatapan Li jatuh pada Zen. Kami semua menoleh padanya. Zen terlihat masih asyik menghirup bau segar teh hijau dari cangkir mungilnya. Sepertinya dia sedang mabuk asmara dengan bau harum teh hijau.
Zen melirik kami. Dia segera menjauhkan cangkir dari hidungnya dan memasang wajah sok keren.
"Ada apa?"
Tawa kami pecah. Bahkan De yang biasanya hanya tertawa kecil kini ikut terbahak-bahak. Zen memasang wajah kesal. "Kalian membicarakanku."
"Tidak, Zen. Kami bahkan lupa kalau kau ada di sini," sahut Al.
"Sudah, sudah, cepat habiskan teh hijaumu, Nak. Aku akan mengajak kalian berkeliling."
***
Enam hari kami berada di lautan, semalam kami tidur di hutan, sebelumnya kami harus menghabiskan malam juga di lautan, kami hanya makan ala kadarnya saja. Sebungkus roti, sebuah apel, sebuah pisang, malam ini Li menyuruh kami untuk membeli apa saja yang kami mau. Itu tawaran bagus. Perutku sudah meraung-raung minta di isi. Jadi sekarang di tanganku ada satu mangkuk kertas besar berisi tiga sate gurita bakar, dua sate udang goreng mentega, dua sate usus, dan sebelumnya aku sudah menghabiskan semangkuk ramen besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost City
Science Fiction⚠⚠ ATTENTION ⚠⚠ Sekuel STAND UP. Disarankan membaca STAND UP lebih dulu. Aku berpikir setelah wakil wali kota bermuka dua bernama Roynald itu mati, Lungsod, kotaku benar-benar telah aman. Namun ternyata tidak begitu. Seorang pria yang mengaku sebaga...