Part 26

3.3K 530 18
                                    

Robert menceritakan lebih detail tentang hubungan Bruise dan Sam. Bagaimana sosok Sam yang sangat bijaksana dan Bruise yang dulu seorang anak berbakti. Tapi seperti kebanyakan manusia, harta telah menggelapkan mata dan hatinya. Mungkin kulitnya dia masih tetap anak yang berbakti. Tapi hatinya tidak lagi. Dan itu lebih buruk di mata Sam.

Namun tiba-tiba sebuah suara dari dalam kamar Sam menginterupsi pembicaraan mereka. Mereka tersentak ketika terdengar suara mirip seseorang menangis. Robert langsung bangkit dan menghampiri ruangan Sam. Ketiga remaja itu mengikutinya.

"Sam..."

Pintu terbuka dan terlihatlah seorang pria dewasa duduk bersimpuh di lantai dengan kepala disandarkan pada ranjang. Dia menangis. Robert segera menghampirinya.

"Maaf, Lily, maaf...aku memang ayah yang buruk. Maaf, Lily!"

Kepalanya yang tadi hanya disandarkan kini mulai dibentur-bentukan pada sisi ranjang berbahan dasar kayu. Kedua tangannya menjambak rambut hitamnya yang berantakan. Robert mengelus pundak Sam.

"Ssh... sudah, Sam, sudah... Lily bilang kamu ayah yanga hebat."

"Tidak! Aku baru saja bertemu Lily dan dia mengatakan aku ayah yang buruk."

Robert menutupi sisi ranjang dengan lengannya sehingga kepala Sam kali ini membentur lengan Robert. "Hei, itu pasti bukan Lily. Baru beberapa menit yang lalu aku bertemu dengannya. Dia bilang kau ayah yang hebat. Dia bangga punya suami sepertmu. Katanya kau satu-satunnya orang yang paling istimewa."

Kepala Sam berhenti bergerak bersandarkan pada lengan Robert. Robert dengan sabarnya membisikkan kata-kata penuh semangat. Lamat-lamat suara isakan tangis Sam mereda dan diganti dengan hembusan napas berat. Robert melirik Al, Carissa, dan Javera yang tak bisa berkata-kata melihat ayah Bruise. Robert memberi sinyal agar mereka menunggu di ruang keluarga. Ketiganya mengangguk dan menurut. Rasanya mereka juga tidak sopan hanya berdiri di depan pintu dan menjadikan Robert dan Bruise sebagai bahan tontonan.

"Ini bukan hal yang mudah," bisik Al pada Carissa.

Carissa mengangguk setuju. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana mereka bisa membawa ayah Bruise pada Bruise? Dia dan dia yakin Al pun tidak pernah berurusan dengan seseorang yang memiliki penyakit jiwa. Apalagi matahari sudah berpulang ke tempat peristirahatannya. Mungkin dia dan Al tidak bisa membujuk Sam malam ini.

Suasana hening selama beberapa menit sampai Robert akhirnya keluar dari kamar Sam dan bergabung kembali bersama mereka.

"Maaf Sam harus menyambut kalian dengan tidak baik," kata Robert.

Al menggeleng. "Tidak, tidak. Kami senang bisa bertemu ayah Bruise."

Robert menghela napas panjang. "Sebenarnya aku juga tidak tahu persis gangguan jiwa apa yang menganggunya. Seperti yang kubilang bahwa kami tidak bisa memanggil ahli psikologis. Kadang, aku sangat sedih melihatnya seperti itu. Sam, dulu seorang pria gagah, bijaksana, dihormati semua orang, mungkin dia adalah panutan bagi orang-orang di sekitarnya. Tapi sekarang dia hanya bisa menghabiskan waktunya di dalam kamar. Setiap hari merasa sedih meratapi nasibnya. Kebahagiannya hanya untuk menggantarkkanya kembali kepada kesedihan."

Sejenak tidak ada yang menanggapi ucapan Robert. Carissa sendiri berpikir bagaimana jika orangtuanya mengalami hal itu? Bagaimana jika ibunya dulu depresi saat kehilangan ayahnya, ketika dirinya tidak ada, Carissa tidak bisa membayangkan hal itu. Jujur, bagi Carissa lebih baik dia melihat kuburan ayah dan ibunya daripada harus melihat sosok berbeda dari ayah dan ibunya.

"Lilu... apakah itu istrinya?" tanya Javera memecah keheningan.

Robert mengangguk. "Dia sangat mencintai Lily. Sangat mencintainya. Mungkin inilah kelemahan Sam. Cinta itu kadang menjadi sebuah kekuatan. Tapi di sisi lain bisa berubah menjadi suatu kelemahan."

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang