Pintu kapal selam terbuka dan secara otomatis lima anak tangga muncul untuk mengantarkan kami turun. Kami berada di dalam sebuah ruangan berbentuk setengah bola, seperti dome, yang didominasi warna putih. Ruangan ini begitu luas. Tentu saja ruangan ini harus bisa menampung kapal selam yang cukup besar.
Kahuko menggiring kami menuju sebuah koridor. Koridor ini mirip koridor yang ada di dalam kapal selam. Hanya saja yang ini sedikit lebih luas. Tidak ada sesuatu yang menarik menurutku. Aku hanya mengikuti Kahuko berjalan sampai pria itu berhenti di depan sebuah pintu besi bewarna putih. Di pintu itu terukir sebuah huruf D M dan A yang berlapis emas.
DMA. Dark Mortal Agency.
Aku menduga apa yang ada di balik pintu itu. Aku tidak sempat memperhatikan gedung seperti apa yang kami masuki tadi. Jadi aku penasaran seperti apakah penampakan markas mereka ini.
Kahuko meraba huruf DMA itu dengan jari telunjukknya dan terdengar suara mendesing pelan. Aku melongo. Itu adalah perlindungan keamanan yang mudah sekali untuk dibobol.
"Tidak semua orang bisa membukanya, Cariss. Karena kau melihatnya, kau pasti berpikir itu hal yang mudah untuk dilakukan. Tapi tiga huruf itu hanya menyimpan sepuluh sidik jari agen," bisik Ve.
Aku terkejut. "Apa kau bisa membaca pikiran orang?"
Ve tertawa kecil. "Tentu tidak. Tapi dari ekspresimu, aku bisa membacanya."
Aku ingin bertanya sesuatu hal pada Ve, tapi ucapanku terpotong dengan seruan Kahuko.
"Carissa, Zen, selamat datang di rumah kami!"
Kahuko mempersilakan untukku dan Zen masuk terlebih dulu. Aku melangkah. Astaga! Ini sungguh mengangumkan.
Markas mereka ini berbentuk tabung. Tidak ada lantai. Maksudku, lantai di sini mungkin hanya sepanjang 2 meter yang terhampar mengelilingi sisi gedung. Tidak ada pelindung di bibir lantai. Kalau sekali saja jalan, akan langsung terjun bebas. Tengahnya kosong melompong. Tapi tidak benar-benar kosong. Orang-orang dengan pakaian kuning emas dan putih melayang ke sana kemari menggunakan sebuah piringan tipis. Bisa dibilang itu sejenis plate board. Tapi lebih tipis lagi. Dan ada sebuah pelindung bening yang menutupi kaki dari mata kaki. Ruangan ini juga didominasi warna putih dan emas. Pintu-pintu pualam putih yang berjajar di setiap lantai sesekali terbuka ketika ada beberapa orang yang ingin masuk atau keluar.
Ini lebih keren dari Departemen Keamanan.
Enam buah piringan tiba-tiba datang menghampiri kami. Aku berdecak kagum. Kahuko segera naik ke salah satunya. Diikuti Al, Ve, juga De.
"Ayo cepat kalian naik. Kalau dua menit kalian tidak naik, piringan ini akan kembali ke tempatnya."
Aku buru-buru naik. Namun baru aku mau meletakkan satu kaki, langkahku tertahan. "Apa ini tidak akan jatuh?" tanyaku khawatir.
Ve tertawa. "Kau lebih kurus daripada Al, Carissa. Tenang saja."
"Hei!!"
Aku melirik Zen, dia dengan santainya naik ke salah satu piringan putih dengan pinggiran emas itu. Tepat ketika Zen telah berdiri sempurna di atasnya, penutup bening muncul melindungi kakinya.
Aku melangkah hati-hati. Aku tidak terbiasa memakai hal seperti ini langsung di udara. Aku biasa menggunakan plate board dari tanah, baru kemudian aku kemudikan untuk melayang. Lagi pula plate board tidak bisa digunakan langsung dari udara seperti ini.
Hal yang sama terjadi ketika aku telah berdiri sempurna di atas piringan itu. Kakiku tertutupi pelindung bening. Sebuah layar proyeksi 3D tiba-tiba muncul di hadapanku. Aku terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost City
Science Fiction⚠⚠ ATTENTION ⚠⚠ Sekuel STAND UP. Disarankan membaca STAND UP lebih dulu. Aku berpikir setelah wakil wali kota bermuka dua bernama Roynald itu mati, Lungsod, kotaku benar-benar telah aman. Namun ternyata tidak begitu. Seorang pria yang mengaku sebaga...