Keesokan harinya aku dan Zen bersiap-siap. Aku hanya akan membawa satu ransel hitam. Beberapa potong pakaian dan benda-benda yang kurasa penting aku masukkan. Aku tidak tahu berapa lama aku akan pergi. Jadi ada satu hal yang harus aku lakukan sebelum pergi, mengunjungi ibuku.
Wanita paruh baya itu masih tertidur tenang di atas kasurku. Rambut panjangnya yang telah memutih dibiarkan tergerai. Bibirnya pucat. Mataku berkaca-kaca. Aku tersenyum haru. Aku duduk si samping Ibu dan mendekatkan wajahku pada ibu.
"Ibu, maafkan Carissa. Carissa belum bisa jadi anak yang baik. Carissa tidak bisa menemani ibu di hari-hari terakhir ibu. Tapi Carissa yakin, ibu akan mendengar ini. Lihat, ibu, ini anak gadismu dulu yang cenggeng. Anak kecilmu yang dulu menyusahkan. Terima kasih, terima kasih sudah mendidik Carissa menjadi seperti ini," bisikku lembut.
Aku mencium kening ibu. Rasa dingin menjalar ke bibirku. Aku mengelus kepalanya. Dulu, ibu yang selalu mengelus kepalaku lembut. Aku tidak menyangka bahwa posisi itu akan bisa tertukar dalam waktu yang tak bisa kuduga.
Aku memeluk ibu sekali lagi. "Selamat berjumpa dengan ayah, Ibu."
Dadaku terasa sesak. Bagaimana pun aku tetap merasa bahwa aku belum bisa membahagian kedua orangtuaku. Walau pun aku sering mendengarkan ibu mengatakan bangga padaku, walau aku selalu mendengarkan ayah bahagia denganku, segala hal yang mereka lakukan padaku adalah hal yang sangat luar biasa. Dan aku hanya bisa membalas sedikit yang luar biasa itu.
Perlahan, aku melangkah keluar. Kini saatnya aku membuktikan bahwa apa yang sudah ayah dan ibu ajarkan padaku tidak sia-sia.
Teman-temanku sudah menunggu di depan ruanganku. Pandangan mereka yang sayu menatapku. Aku tersenyum.
"Jangan sedih begitu. Kita pasti bertemu lagi," kataku meyakinkan.
Smith mendekat padaku. "Kau harus kembali atau aku tidak akan menjadi temanmu lagi."
Aku tertawa.
"Itu benar, Carissa. Kau juga, Zen! Aku susah payah dulu berteman dengan kalian. Jangan pergi lama-lama," sahut Aaron sedih.
Zen tersenyum. Dia merangkul Aaron. "Ah, ternyata kau sangat peduli denganku, ya."
Aaron melirik Zen. Dia melepaskan rangkulan Zen dengan paksa. Zen terkekeh. Meskipun sudah berteman, dua orang ini masih sering membuat masalah. Tapi aku tahu justru itu yang akan mengikat mereka.
Aku mendekati Sara. Sara memelukku. "Aku tidak tahu harus berkata apa lagi padamu, Cariss. Kau sungguh-sungguh hebat."
"Itu karena ada kau dan orang-orang terdekatku di sini."
Sara menyunggingkan senyuman terpaksa. "Cepat kembali."
Aku mengangguk. Aku berharap semoga seperti itu kenyataannya.
Aku menoleh pada Teresa. Untuk kali ini dia yang tersenyum palling cerah. Matanya yang bengkak karena menangis terlihat mulai membaik. Wajahnya lebih berseri-seri dari kemarin yang terlihat suntuk.
Teresa mengenggam tanganku. "Aku akan selalu menunggu kapan kakak pulang. Bagaimana pun keadaan kota ini nanti, aku akan selalu menunggu kakak."
Aku mengelus kepala Teresa. "Kakak pasti akan pulang."
Aku menatap Sara. "Aku titipkan dia padamu ya, Sara."
Sara mengangguk. "Jangan khawatir. Aku akan menggantikan sementara posisimu untuk Teresa."
Aku yakin dalam hati perasaan Teresa pasti pedih. Tapi dia tersenyum seolah meyakinkan aku bahwa dia akan baik-baik saja. Karena itu aku juga akan mencoba untuk baik-baik saja meskipun perasaanku sangat khawatir dengan keadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost City
Science Fiction⚠⚠ ATTENTION ⚠⚠ Sekuel STAND UP. Disarankan membaca STAND UP lebih dulu. Aku berpikir setelah wakil wali kota bermuka dua bernama Roynald itu mati, Lungsod, kotaku benar-benar telah aman. Namun ternyata tidak begitu. Seorang pria yang mengaku sebaga...