Suara baling-baling dan mesin helikopter yang membelah udara membuat suasana semakin tegang. Helikopter hitam yang mengantarkan Javera masih berputar-putar di gedung dekat mereka, seolah-olah ikut mengawasi gerak-gerik lima anak muda itu.
"Pengkhianat," bisik Al tajam.
Javera tidak menoleh. Tatapnnya tetap tajam menatap Zen. Ujung pedangnya yang tadi menempel di ujung hidung Zen kini bergerak turun. Mata pedang itu sempurna bertengger di leher Zen. Carissa menahan napas.
"Jangan ada yang bergerak atau pedang ini bisa menghunus leher Zen kapan saja," ancamnya.
Zen menatap Javera tajam. "Apa yang kau mau?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin ini semua segera selesai."
"Apa alasanmu melakukan ini padaku adalah karena Carissa? Kau menyukainya, kan?"
Al, De, dan Ve terkesiap. Itu fakta yang baru mereka ketahui. Ellard yang mendengar itu mengernyit.
"Sungguhkah?"
Javera tertawa miris. "Kau harus tahu mana diriku yang asli dan yang palsu. Dia tidak pantas untukku. Semua yang aku lakukan pada kalian selama ini adalah kebohongan."
Emosi di dalam diri Zen mulai membara. Tapi disampingnya, Carissa mengenggam tangannya.
"Selesaikan semuanya sekarang, Jav," katat Carissa pelan. Nadanya yang pasrah seakan menjelaskan bahwa tidak ada hal lain lagi yang bisa mereka lakukan.
"Tidak! Ayo lawan kami secara jantan! Jangan curi permulaan seperti ini!" seru Al ikut terbakar emosi. De yang ada di samping Al menahan bahunya.
"Biarkan, Al. Kita sudah kalah."
Al menepis bahu De. "Lebih baik aku mencoba dan kemudian terbunuh daripada aku harus pasrah seperti pengecut saat ini!"
De menggeleng tegas. "Biarkan dia, Al! Dia sudah jelas mengambil lawan yang salah."
Langit bergemuruh. Matahari yang sebentar lagi akan tumbang di barat mendadak tertutup awan kelabu. Semburat senja yang tadi menghiasi langit kini tergantikan dengan gumpalan kapas abu-abu.
Javera tersenyum licik. "Dengarkan dia saja, Al. Sudah jelas siapa yang akan kalah hari ini." Dia memasukkan tangan kirinya yang bebas ke dalam saku.
Saat itu bersama dengan tetesan hujan pertama yang jatuh mengenai Javera, lelaki itu menekan tombol kecil yang tersimpan di gagangnya. Tidak ada yang tahu bahwa ada rahasia tersembunyi di pedang yang dia buat sendiri. Ketika tombol itu ditekan, sebuah peluru kecil keluar dari pangkal gagang pedang Javera, melesat cepat dan menghantam dada Ellard telak.
Ellard kaget sampai membuatnya terjengkang dan jatuh terduduk. Yang lainnya terkesiap. Peluru itu tidak membunuhnya. Peluru itu menghantam rompinya. Tapi peluru itu menghantam tepat di bagian tempat untuk me-nonaktifkan rompi pisau yang melindungi Ellard. Rompi itu kini kembali seperti rompi biasa. Sebelum Ellard kembali bergerak menyalakan rompi pisaunya itu, Javera lebih dulu berbalik. Tangan kirinya yang sejak tadi di saku mengarahkan pistol bius ke ayahnya sendiri. Hanya dalam sekali tembakan, peluru bius itu mengenai leher Ellard.
Ellard menjerit. "APA YANG KAU LAKUKAN?!"
"Anak bodoh! Kau tidak beda jauh dengan ibumu!"
Ellard terkapar. Tubuhnya mendadak kaku.
"Anak haram! Anak wanita jalang!"
Javera menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Ini keputusan berat. Berat sekali. Bagaimana dia harus melawan ayahnya sendiri? Tapi dia harus melakukannya dan dia tidak menyesalinya. Semua dimulai karenanya dan dia sendiri yang harus mengakhirinya.
"Maaf, Ayah."
Hujan mendadak turun deras. Suara tetesannya yang menghujam atap berkali-kali membuat suara helikoper tidak terdengar. Satu-satunya suara yang terdengar adalah sumpahan Ellard yang samar-samar pada Javera yang terdengar menyakitkan.
Javera menundukkan kepala. Untuk segala hal yang telah terjadi beberapa hari terakhir ini, dia bersyukur hujan turun begitu deras di waktu yang tepat. Tepat di saat ini ketika dia menangis.
"Javera..."
Carissa dan yang lain segera menyadari situasi yang berubah dengan cepat ini. Carissa berniat mendekat tapi dia tahan. Zen dan Al bergerak gelisah, merasa bersalah. Ve hanya bisa diam memandang Javera dalam keibaan. Sedangkan De ikut menduduk, seolah dia merasakan apa yang kini sedang dirasakan Javera.
Suara helikopter terdengar mendekat. Kelima anak muda itu menoleh. Helikopter itu parkir di sisi ujung atap yang luas. Seorang pria lain yang mengenakan jubah hitam keluar dari helikopter. Dia berjalan mendekat menuju Carissa dan yang lainnya. Semakin dekat, semakin terlihat wajahnya di antara ribuan tetesan air hujan yang turun.
Demi melihat wajah Kahuko di sana, Al nyaris berteriak senang. Ve pun hampir saja memeluk Kahuko. Namun De lebih sigap berdehem, mengingatkan ini bukan saatnya untuk meluapkan kesenangan. Wajah Kahuko yang mendekat pun terlihat tidak bahagia. Kahuko mendekati ke arah Javera.
"Kau baik-baik saja, Nak?"
Javera menengadahkan kepala dan tersenyum. Dia mengangguk. "Aku lebih lega."
Kahuko tersenyum haru. Ada banyak hal yang terjadi selama beberapa hari terakhir ketika dia bertemu dengan lelaki muda bernama Javera ini. Dia bisa melihat mata Javera yang memerah. Tapi dia tidak bisa membedakan mana air mata Javera dan mana air hujan yang mengalir di wajah anak muda itu.
"Aku akan menyendiri sebentar."
Dua pria lain turun dari helikopter, mendekat ke arah Ellard. Mereka membawa tubuh Ellard yang telah terbius ke dalam helikopter. Bersamaan dengan tubuh Ellard yang di bawa masuk ke helikopter dan Javera yang melangkah pergi, Kahuko menatap kelima anak muda yang terlihat semakin mengenaskan di bawah derasnya hujan.
Dia tersenyum kecil. "Bagaimana kabar kalian?"
"Kau sungguhan Kahuko, kan?" tanya Al masih tidak percaya.
Kahuko mengangguk. "Ada banyak cerita yang harus kalian dengar. Tapi aku rasa tidak di sini."
Helikopter lain bewarna abu-abu yang baru datang terlihat mengarah mendekati mereka. "Itu tumpangan kalian. Kalian pergilah dulu dan bersihkan diri. Aku akan kembali bersama Javera."
Ada banyak hal yang ditanyakan oleh kelima anak muda itu. Tapi Kahuko benar. Bertanya di bawah derasnya air hujan bukan pilihan yang baik. Mereka segera naik ke helikopter abu-abu yang kini telah mendarat dengan sempurna di sisi atap yang lain. Sekilas Carissa melihat Javera yang di sudut atap. Ingin sekali gadis itu melangkah, mendekatinya, meminta maaf, dan mengucapkan kata motivasi lainnya. Tapi dia tahu yang dibutuhkan Javera sekarang adalah ketenangan. Jadi dia memutuskan untuk tetap melangkah menuju helikopter.
Mungkin nanti, semoga dia punya kesempatan untuk bicara.
____
"Yang bilang saya jahat kemarin mana? Minta maaf cepet!" -JAVERA
Ada banyak hal yang belum terjelaskan disini jadi ditunggu part selanjutnya yaaa :)
Jangan lupa vote komennya ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost City
Science Fiction⚠⚠ ATTENTION ⚠⚠ Sekuel STAND UP. Disarankan membaca STAND UP lebih dulu. Aku berpikir setelah wakil wali kota bermuka dua bernama Roynald itu mati, Lungsod, kotaku benar-benar telah aman. Namun ternyata tidak begitu. Seorang pria yang mengaku sebaga...