"Wow, aku tak menyangka kalian benar-benar akan menggunjungiku. Apakah kalian perlu sesuatu?"
Carissa meringis. Pertanyaan terakhir Javera seperti menyindir bahwa dia dan Al yang datang ke sini karena butuh bantuan. Tapi kenyatannya memang benar. Coba kalau teman-temannya tidak ditahan, tidak mungkin mereka ke sini.
"Maaf, Jav, kalau kami meropatkanmu," kata Carissa tak enak hati.
Javera tertawa pelan. "Hei, aku hanya bercanda. Masuklah dulu. Ngomong-ngomong di mana yang lain? Kenapa hanya ada kau dan Al?"
Rumah Javera tidak terlalu besar, atau lebih tepatnya rumah kakeknya. Hanya bangunan minimalis bercat putih bergenteng hitam satu lantai. Tapi halamannya begitu luas. Sebagian halamannya ditutupi rumput hijau yang menyegarkan mata. Di dekat pagar hitam yang memagari rumah kakek Javera, ada berbagai macam bunga yang baunya semerbak menyegarkan pikiran. Suara gemericik air dari kolam ikan di pojok depan halaman menambah keasrian halaman. Di dekat bangunan rumah, di sisi pojok lain dari kolam ikan ada bangunan lain yang lebih kecil dari kayu. Ukurannya mungkin hanya 5 m x 3 m. Bangunan itu terbuka sehingga menampakkan berbagai macam, warna, dan ukuran kayu. Kakek Javera memang seorang pengrajin kayu, sesuai dengan yang tertulis di kartu nama pemberian Javera.
"Ya Tuhan, aku tidak menyangka kalian sudah mendapat masalah sebesar ini padahal kalian baru beberapa hari di Nagasaki," kata Javera kaget ketika Al menceritakan semuanya.
"Karena itu, Jav, kami butuh bantuanmu. Kami tidak tahu di mana tempat ini, apa kau bisa membantu kami?"
"Tentu saja. Kenapa tidak? Sebenarnya aku tidak terlalu hafal juga tentang Nagasaki kalau tanpa peta. Tapi itu bukan masalah besar karena aku juga sudah punya peta digital," kata Javera.
Carissa dan Al menghela napas lega. Entah apa jadinya jika tidak ada Javera. Bukan hanya saat ini. Tapi saat masih di Desa Mafia juga. Javera sangat membantu mereka. Tanpa Javera mungkin mereka masih kebingungan di Desa Mafia, mungkin mereka masih belum ada di sini, dan kemungkinan-kemungkinan buruk lainnya yang tak terbayangkan lagi di benak Carissa.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Javera.
Carissa mengangguk. "Tidak masalah, kan?
Javera tersenyum. "Santai, Cariss. Aku sedia 24 jam untuk kalian."
***
Jam menunjukkan pukul 16.15 ketika mereka sampai di depan sebuah bangunan kecil dengan halaman yang luas. Carissa memandang Javera tidak yakin. "Ini tempatnya?"
Javera menatap peta digitalnya dan mengangguk. "Aku yakin 100 persen ini tempatnya."
Sebenarnya sejak mereka memasuki kawasan yang kanan kirinya hanya ada hutan, Carissa dan Al tidak yakin. Tapi Javera menunjukkan peta digital itu dan menjelaskan bagaimana arahnya pada mereka. Dan arah jalan mereka memang benar. Hanya saja, apakah sungguh ini tempatnya? Sebuah rumah di tempat nan jauh dari hiruk pikuk kota, berdiri sendiri tanpa ada tetangga, dan melewati hutan-hutan?
Bukan hanya Carissa, tapi Al berpikir bahwa mereka akan mengunjungi rumah sakit jiwa. Tapi sepertinya tidak. Al memutuskan untuk melangkah lebih dulu, mendekat menuju pagar putih tinggi yang memagari bangunan itu. Carissa dan Javera menyusul di belakangnya.
"Kau tekan tombol merah itu dan tunggu sampai ada balasan. Nanti kalau sudah ada balasan,tekan tombol hitam dan berbicaralah," kata Javera seraya menunjuk alat berbentuk balok yang terpasang pada pagar. Ada sebuah layar kecil dan tombol hitam dan merah di sana. Al menurut saja.
Hanya beberapa detik setelah dia menekan tombol merah, terdengar suara gemerisik dari alat itu dan menyalalah layar kecil di sana. Seorang laki-laki paruh baya menyapa dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost City
Science Fiction⚠⚠ ATTENTION ⚠⚠ Sekuel STAND UP. Disarankan membaca STAND UP lebih dulu. Aku berpikir setelah wakil wali kota bermuka dua bernama Roynald itu mati, Lungsod, kotaku benar-benar telah aman. Namun ternyata tidak begitu. Seorang pria yang mengaku sebaga...