Jarum panjang jam bergerak patah-patah terus berputar. Zen memandang Bruise tajam. Pria itu tidak berhenti menatap jam tangannya. Seolah jam tangannya adalah benda yang bisa hilang jika tidak dia perhatikan barang satu detik saja.
Dia masih di sana. Di gudang pengap bersama Ve dan De menunggu keajaiban Al datang membawa ayah Bruise. Tangan mereka masih diikat, dan dengan cara seperti itulah mereka tidur dan makan. Makan? Agak sedikit menjijikkan jika Zen jujur bagaimana cara mereka makan. Itu cara yang sangat manusiawi, bahkan mungkin kelewat manusiawi. Pria-pria berbadan kekar itu menyuapi mereka.
Ah, dia tidak akan pernah bercerita kepada anaknya bahwa dia dulu di umurnya yang sudah berkepala dua pernah ada seorang pria berbada kekar menyuapinya makan. Jelas itu ide buruk dan akan selalu menjadi rahasianya kelak.
Bruise mengangkat manik matanya dan menatap ketiga anak muda beberapa langkah di depannya yang sama-sama membalasnya dengan tatapan tajam mengintimidasi.
"Kalian tahu ini hampir pukul tiga sore," kata Bruise.
Ve melirik kepada seorang pria berbadan kekar di depannya. Ve baru menyadari sebuah revolver tersimpan manis di saku penyimpannya yang ada di bagian kanan atas celananya.
"Dua menit lagi dan aku tidak melihat ada tanda-tanda kedatangan sahabat sejati kalian itu."
"Jangan tunjukkan ketidakpercayaan kalian pada pria itu," bisik De.
Zen mengepalkan tangannya. Haruskan dia berhenti percaya pada Al? Tidak. Dia yakin Al dan Carissa akan datang. Satu detik sebelum pukul tiga pun masih berlum terlambat. Setengah detik sebelum jarum pendek tepat di angka tiga pun masih harapan. Mereka akan datang.
"Tidak ada yang tidak percaya pada Al, De. Sampai detik ini pun aku yakin dia akan datang," balas Al.
Bruise berdiri dan mendekati mereka. "Bagaimana kalau kalian keraskan sedikit suara kalian biar aku juga ikut bergabung dengan pembicaraan kalian?"
"Kau tidak akan menembak kami," suara dingin Ve mengalihkan tatapan Bruise dari De dan Zen.
"Apa, Nona Manis?"
Ve menatap Bruise penuh kebencian. "Sekali pun jam sudah menunjukkan pukul tiga kau tidak akan menembak kami."
Bruise menatap Ve datar. Suasana hening sejenak sebelum Bruise mengangkat tangan diikuti seruan. "Siapkan revolvernya!"
BRAK!
Semua orang yang ada di dalam melonjak kaget. Bahkan salah seorang dari pria kekar itu spontan melemparkan revolvernya membentur tumpukan kotak kayu di sampingnya.
Al, Carissa, dan Javera masuk dengan gagahnya bak seorang pahlawan kesiangan ditambah efek sinar matahari sore yang menembus masuk melalui pintu yang terbuka. Ketiganya sama-sama kacau. Nafas terengah-engah, muka dipenuhi dengan peluh, rambut berantakan, dan wajah kusut.
Senyuman miring menhapus raut terkejut wajah Bruise. "Wow, aku tersanjung kalian datang."
Al melirik Javera yang berdiri di antaranya dan Carissa. "Ku tahu apa yang ingin kau lakukan, Jav."
Javera dengan langkah lebar menuju Bruise. Bruise dengan tenang menatap Javera. "Siapa pria ini?"
BUK!
Satu pukulan telak menghajar pipi Bruise. Bruise terperangah. Zen, Ve, dan De tak kalah terkejutnya melihat kehadiran Javera. Dua dari tiga asisten Bruise langsung mengambil ancang-acang dan mengarahkan revolver pada Javera. Namun Javera sama sekali tak peduli. Dia mengusap kepalan tangannya yang tadi dia gunakan untuk menghajar Bruise.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost City
Science Fiction⚠⚠ ATTENTION ⚠⚠ Sekuel STAND UP. Disarankan membaca STAND UP lebih dulu. Aku berpikir setelah wakil wali kota bermuka dua bernama Roynald itu mati, Lungsod, kotaku benar-benar telah aman. Namun ternyata tidak begitu. Seorang pria yang mengaku sebaga...