Part 24

3.4K 582 35
                                    

Author's POV

Jam menunjukkan pukul setengah dua dan tidak ada tanda-tanda Ve kembali. Sekarang Carissa bukan hanya berfirasat, tapi dia yakin sesuatu yang buruk telah terjadi pada teman-temannya. Dia memutuskan untuk keluar hotel dan menuju ke suatu tempat. Satu-satunya tempat yang dia pikir hanya inilah jalan terbaik.

Carissa baru saja keluar dari hotel ketika seorang laki-laki mendekat padanya.

"Carissa!"

Carissa menoleh dan terperangah. "AL?!"

***

Ruangan itu sempit, hanya berukuran 4 x 4 m tapi dipenuhi dengan banyak barang. Sebagian barangnya setengah rusak, sisanya rusak parah nyaris tak dikenali bentuknya. Sebagian menjadi sarang laba-laba, sisanya ditutupi debu tebal.

Empat orang remaja terduduk lemas di tengah ruangan dengan tangan saling terikat dengan tali. empat orang lelaki berbadan kekar mengelilingi mereka. Lelaki yang paling pendek di antara yang lain dan satu-satunya yang tak memiliki rambut mendekat.

"Sebuah kejutan aku bisa bertemu denganmu lagi di sini, Altair...."

Al menatap tajam lelaki itu. "Senang juga bertemu denganmu, Tuan Bruise."

Lelaki yang dipanggil Bruise itu tertawa keras. Dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan remaja yang telah menjadikan mimpi buruk menjadi kenyataan. Altair. Nama itu bukan nama asing di telinganya. Lebih-lebih wajahnya. Saat dia melihat Al di pelabuhan Nagasaki tempo hari, dia pikir itu hanya sebuah ilusi. Tapi setelah dia kembali meyakinkan pandangannya, dia memang Altair yang pernah merusak segala kehidupan indahnya.

Bagaimana seorang remaja bisa merusak kehidupannya?

Bruise tertawa miris mengingat masa-masa itu. Kenyataannya memang benar, bagaimana bisa seorang remaja merusak kehidupannya? Menjungkir balikkan segalanya seolah hanya dalam sekali kedipan mata. Saat itu, lima tahun yang lalu seorang remaja 17 tahun telah menghancurkan perusahaannya dan ayahnya, Bruise&co.

Semenjak itu semuanya telah berubah.

"Apa kau tahu alasan aku membawamu ke sini?" tanya Bruise dengan santai pada Al.

"Kau ingin balas dendam denganku? Biar kuberitahu. Perusahaanmu memang sudah diambang kehancuran. Dan kau ingin menggunakan cara licik untuk mengembalikannya lagi? Kau seharusnya sadar bahwa itu justru akan semakin membuat perusahaanmu makin hancur."

PLAK!

Satu tamparan keras mendarat di pipi Al. Ketiga temannya terperangah. Apalagi Zen. Dia yang paling tidak mengerti tentang pembicaraan Al dan pria berbadan kekar namun pendek itu.

"Apa yang kau inginkan? Jangan mengulur-ulur waktu. Jangan meminta tebusan uang milyaran, aku ini miskin. Tidak ada keluarga yang menanggungku," balas Al dingin.

Bruise mendecih. "Berhenti berbicara tentang uang di depanku. Aku tidak peduli."

Al menatap Bruise. Bruise yang dia kenal adalah seorang penggila harta kelas kakap. Tidak ada kata haram untuk mendapatkan uang di matanya. Dan kalimat yang baru saja diucapkan Bruise seakan hanya sebuah imajinasi yang entah kenapa di telinga Al rasanya sangat nyata.

"Jadi apa yang kau mau?"

"Kembalikan ayahku."

Suasana hening beberapa saat. Al memandang Bruise lama-lama. Tatapan tajam menusuk yang membuat ngeri siapa pun yang balas memandangnya. Tapi Al menyadari sesuatu. Ada hal yang telah berubah dari sorot mata itu. Hanya sedikit. Sedikit, yang mungkin tidak akan disadari oleh orang lain.

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang