Part 35

3.3K 386 36
                                    

I'M BACK!! 

Maaf ya kalau cerita ini banyak typonya karena belum sempat aku edit lagi :") tapi aku tahu lama enggak up dan karena ini ada waktu untuk up aku jadi up sekarang aja ya!

____

Zen duduk di pinggiran tembok bekas pemasangan jendela yang telah hilang. Dari sini dia bisa meliihat satu sisi bagian pulau ini. Tidak ada yang menarik selain bangunan beton dan semen yang telah runtuh. Mungkin hanya riak air laut biru yang tenah yang bisa memanjakan matanya saat ini.

Carissa berdiri di samping Zen, bersandar pada tembok sambil melipat tangan di depan dada. Mereka berada di salah satu kamar yang telah hancur. Dipannya jebol dan kaki-kaki kursi yang patah berserakan di mana-mana. Sebuah boneka yang telah usang dan berdebu menutupi warna aslinya tergeletak di pojok ruangan dekat pintu. Entah kenapa itu menjadi pemandangan menyedihkan di mata Carissa.

"Jadi dia sudah pergi?" tanya Zen setelah Carissa bercerita panjang lebar tentang keberadaan Javera.

Carissa hanya bergumam mengiyakan.

"Aku merasa buruk, Zen. Aku tahu dia pasti merasa bersalah telah membohongi kita. Aku bisa lihat ketulusannya dalam meminta maaf. Bahkan aku bisa sampai di sini, kita sampai di sini, itu juga karena ada Javera. Tapi aku terlalu egois."

Zen mengenggam tangan Carissa dan tersenyum. "Tidak ada yang salah. Tidak kau dan tidak juga Javera."

Carissa menoleh pada Zen.

"Yah, jujur saja, mungkin awalnya aku memang cemburu kau dekat dengan Javera dan...ehem...masih sedikit cemburu. Tapi aku juga tahu Javera adalah laki-laki yang baik. Kita lihat saja setelah ini apakah ucapannya benar. Apakah dia akan benar-benar membantu kita? Jangan terlalu dipikirkan, Cariss. Lebih baik sekarang kita mencari teman-teman kita yang lain."

Carissa menghela napas panjang. Zen benar. Mereka harus segara mencari Al, Ve, dan De. Carissa mengerutkan kening.

"Tunggu, Zen. Bukankah kau seharusnya bersama Al?"

Zen mengangguk pelan. Tatapannya jadi kembali datar. "Al pergi untuk buang air kecil dan aku menunggunya. Hanya satu menit Al pergi, tiba-tiba dia sudah kembali. Aku kira dia Al sungguhan, ternyata...,' Zen menyentuh luka yang ada di pipinya. "...dia menghunusku dengan pisau."

"Aku pikir Al sudah gila. Aku lari dan kemudian aku bertemu De. Aku masih belum menyadari keanehan itu sampai akhirnya aku melihat tangan De adalah pisau, bukan tangan seperti manusia. Aku tidak tahu itu apa, tapi Javera bilang itu robot, kan?" tanya Zen,

Carissa mengangguk. Zen ikut mengangguk. "Aku rasa Ellard ini lebih canggih daripada Roynald dulu."

"Kau benar. Dia berkali-kali lipat lebih canggih dan mengerikan."

BUM!

Carissa dan Zen melonjak kaget saat tiba-tiba mendengar suara bedebum kencang di atas mereka sehingga membuat debu-debu di atap ruangan menghambur. Samar-samar suara teriakan terdengar di atas sana. Carissa dan Zen saling berpandangan.

Carisaa yakin suara itu berasal dari salah satu teman mereka tapi entah siapa, suaranya terlalu samar-samar tapi terdengar seperti suara teriakan cowok.

"Kita harus ke sana," kata Zen langsung berdiri. Carissa mengangguk. Mereka berdua segera bergerak.

Carissa menduga-duga bangunan ini seperti apa dulunya. Di setiap kamar-kamar yang telah rusak itu tentulah akan ada banyak kenangan. Koridor yang penuh dengan reruntuhan tembok dan pechan atap plafon ini dulunya mungkin menjadi tempat berlari anak-anak kecil dengan tawa canda mereka. Tapi yang tersisa saat ini hanya kesunyian dan suasana yang mencekam.

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang