Part 10

5.2K 914 23
                                    


Aku kembali disambut hangat oleh Kahuko ketika sampai di markas kapal selam mereka. Sebenarnya aku bertanya-tanya apakah mereka selalu membawa markas mereka ini berkeliling. Karena sepertinya kapal selam ini cukup kecil jika dihuni empat orang.

"Apa kita akan langsung pergi?" tanyaku sambil mengeluarkan circlesec dari saku.

"Wow, tenang dulu, Carissa. Kau sepertinya sangat bersemangat. Kita akan pergi ke suatu tempat dulu."

"Ke mana?"

Kahuko tersenyum. Dia berjalan menuju sebuah pintu ramping dengan kaca bundar yang tertutup. Kahuko mendorong pintu itu seraya menoleh padaku. "Ke markas kami. Nikmati waktu kalian terlebih dulu, sebelum nanti tidak bisa lagi."

Kahuko menghilang dari balik pintu. Aku berkerut. Jadi mereka sungguh punya markas?

Aku terkejut ketika mendadak kecepatan kapal selam bertambah. Zen yang belum sempat duduk hampir saja jatuh terbentur meja kalau Al tidak segera menarik kerahnya. Zen menatap Al. Al melepaskan cengkramannya.

"Kau berhutang budi banyak padaku," kata Al kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi.

Zen menghela napas. "Terima kasih."

Aku melirik Zen sambil tersenyum jahil. Mungkin Al memang terlihat lebih menyebalkan dari Zen dulu, tapi jelas Al menunjukkan sikapnya yang lebih peduli. Zen membalas tatapanku. "Apa?"

Aku menggeleng. "Tidak ada apa-apa."

Zen duduk di sebelahku. Ve dan De ikut bergabung. Keheningan merayapi kami. Aku melihat Ve yang hanya diam di samping kananku sambil memainkan jarinya di meja. Al hanya memutar-mutar kursinya. De hanya bertopang dagu sambil melamun menatap meja. Zen juga terlihat lebih tertarik menatap ponselnya.

"Hmm...apa kalian selalu diam begini?" tanyaku pada Al, De, dan Ve.

"Tidak juga. Tapi sekarang kami lagi tidak ingin banyak bicara," sahut Ve.

Aku hanya manggut-manggut. Aku ikut diam beberapa saat sebelum akhirnya aku merasa tidak nyaman dengan suasana canggung ini.

"Jadi, Zen, kenapa kau mengincar mereka?" tanyaku pada Zen yang masih sibuk dengan ponselnya.

Zen mengangkat kepala. Ketiga remaja itu langsung menoleh pada Zen. Zen mengedikkan bahu. "Aku hanya bertugas."

"Tidak mungkin kau tidak tahu alasannya," kata Al. Dia sepertinya mulai tertarik dengan topik pembicaraan ini.

"Yah, seperti yang kalian sadari, kalian adalah penjahat kelas kakap. Kalian tahu, ditempatku kau, dijuluki Si Barbie Haus Darah," kata Zen menunjuk Ve. Ve hanya tersenyum miring. Seolah tersanjung dengan sebutan itu. Telunjuk Zen beralih pada De. "Kau, Si Tangan Dingin. Tapi kau tahu, kau sungguh penjahat yang keren."

Aku berkerut mendengar ucapan Zen. "Dia benar-benar seorang ahli cracker. Dia seperti seolah memberikan kami lokasi untuk dilacak, tapi dia hanya menjebak kami. Meskipun kami pernah menyadari hal itu, kami tetap tidak pernah bisa menemukan lokasinya. Walau pun katanya, sebelum aku bergabung, mereka pernah hampir menemukanmu. Sekali. Tapi kau dengan cepat menyadari dan hanya meninggalkan jejak."

"Kau tidak perlu menceritakannya. Aku sudah tidak seperti lagi, dan aku tidak ingin mengingatnya lagi," sela De.

Zen mengangguk-anggukan kepalanya. "Bagus kalau begitu."

Pandangan Zen beralih pada laki-laki yang ada dihadapannya. "Dan kau Si Bajingan Bodoh."

Al melongo. Wajahnya berubah masam. "Apa?! Jelek sekali julukanku."

The Lost CityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang