9. SAH BOY

5.5K 522 39
                                    

Bian menatap pantulan dirinya di cermin. Sebentar lagi, ia akan hidup terpisah dengan keluarganya, terutama bunda. Bagaimana bisa dia bertahan hidup tanpa bunda sehari.

Seperti waktu itu, bunda ada acara kantor ke luar kota bersama papa dan Bian ditinggalkan dengan Seokjin berdua di rumah. Walaupun masakan Seokjin sebelas dua belas rasanya dengan masakan bunda, rasanya tetap beda menurutnya.

Masakan bunda ada micin cinta.

Kalau Seokjin micin royco.

"Dek, keluarganya Mas Jinyoung sudah dateng."

Bunda datang dari balik pintu dan menghampiri putri bungsunya. Putri paling dicintainya setelah ditinggalkan dua putra saudara kembar Bian yang pergi dua hari setelah proses persalinan. Dari ketiganya, hanya Bian yang dapat bertahan.

Bian menatap bundanya yang pancaran matanya mengisyaratkan ketidakrelaan.

"Bunda,"

"Iya sayang?"

Bunda menggenggam jemari putrinya yang sebentar lagi akan dilepasnya.

"Habis adek menikah, adek tetep anaknya bunda sama papa kan?"

Pertahanan bunda hancur. Beliau menangis tepat di hadapan putrinya yang akan melangsungkan hari bahagianya.

"Bunda jangan nangis. Adek keluar bilang ke Mas Jinyoung bilang enggak jadi nikah biar adek tetep jadi anaknya bunda sama papa ya?"

Bunda menggeleng tanpa menghilangkan senyumnya. Begitulah bunda, tetap tersenyum walau sebenarnya ia hancur. Kalau ia bisa mengedepankan rasa egoisnya sebagai ibu, ia tidak mau menyetujui pernikahan ini. Ia tidak siap jauh dari si bungsu cantik kesayangannya.

"Adek tetep anaknya bunda sama papa, nanti adek juga jadi anaknya mama sama papanya Mas Jinyoung."

Bian menatap lurus manik mata bundanya, "Adek tetep adeknya kakak kan bun? Adek tetep bisa bobok sama kakak kan bun? Terus Jeffrey gimana bun? Bukannya bunda dulu setuju kalau gede nanti adek nikah sama Jeffrey?"

Bunda tersenyum.

"Adek tetep adeknya Kakak Seokjin, tapi udah enggak boleh bobok sama kakak lagi. Adek udah punya suami kan? Boboknya sama Mas Jinyoung aja. Kalau Jeffrey adek tetep bisa main."

Bian menggeleng, "Bunda enggak tau kan kalau Mas Jinyoung itu guru matematika adek yang sering adek ceritain?"

Bunda awalnya terkejut tapi kembali mengatur air mukanya agar tetap tenang, "Oh jadi itu guru yang adek suka? Jadi bagus dong, adek bisa nyaman kan nanti kalau tinggal sama Mas Jinyoung?"

"Bukan gitu bun,"

Bian mendesah sebal. Tidak mungkin alau misalkan ia menyampaikan kecurigaannya tentang dua sisi Jinyoung yang saling bertolak belakang. Dimana ia bisa dengan santainya bersenda gurau dengannya di sekolah tetapi bersikap hampir acuh tak acuh kepadanya ketika di rumah, atau lebih tepatnya ketika ia tidak mengenakan seragam sekolah.

"Terus apa?"

Pembicaraan keduanya terinterupsi Seokjin yang masuk dengan setelan baju adat jawa yang keren.

"Bun, kata papa disuruh cepetan turun."

Bunda mengangguk lalu meninggalkan Bian setelah mengecup keningnya. Sepeninggal bunda, Seokjin masuk dan duduk di hadapan adiknya.

Seokjin menggenggam tangan Bian, "Kalau Jinyoung jahat, adek bilang ke kakak ya?"

Bian menangis. Ucapan Seokjin meruntuhkan air matanya yang sejam tadi ia tahan. Dulu ia benar-benar tidak rela jika suatu saat Seokjin akan pergi meninggalkannya karena alasan pernikahan. Namun kini, yang ada dirinya yang meninggalkan Seokjin terlebih dulu dengan alasan yang ia takutkan.

Teacher; Park JinyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang