39. Last

3.5K 313 10
                                        

Hari terakhir bersekolah. Siswa tahun akhir sudah mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Seperti Bian yang tidak memilih jurusan apapun saat jalur undangan, harus mengikuti ujian. Dia menurut ketika Jinyoung mendaftarkannya ke universitas swasta milik keluarga Park. Jurusan bisnis manajemen.

Semoga aja Bian bisa lulus. Otaknya kan paling lambat urusan soshum.

“Terakhir ngumpulin rapor kapan sih?” Chanwoo menggerutu kesal.

Rapor seharusnya sudah dikumpulkan sejak zaman ujian praktek, nah ini teman-temannya, golongan Dokyeom, Chenle, Jongdae, Baekhyun, apalagi itu yang namanya Guanlin, molor terus kalau disuruh mengumpulkan rapor.

Yang bikin Chanwoo enggak habis pikir itu Jennie n’ the gang. Itu cewek tapi brandalnya enggak ketulungan. Disuruh bawa rapor, bawa doang, Chanwoo yang mengumpulkan ke ruang guru, tetep aja lupa. Yang diingat itu apa sih?

“Untung kuping lo nempel, Jen.”

“Ya kalo enggak nempel, napa? Iri ya sama kuping gue yang bisa gonta-ganti model,”

Waktu itu Chanwoo tertawa dan membalas begini, “Udah gue semur asem kali.”

Bisa ada gitu orang yang dikatain malah seneng kaya Jennie gitu. Bikin Chawoo kerja dua kali untuk mengumpulkan rapor aja.

Bian menoleh menatap Chanwoo yang membawa tujuh belas buku rapor teman sekelasnya, sedangkan dirinya hanya enam.

Jumlahin aja, berapa siswa yang suka molor pas ngumpulin rapor. Guanlin saja pernah rapor akhir semesternya dimasukkan ke dalam map biasa karena rapornya enggak kunjung dikumpulkan.

“Sini bagi ke gue, gue cuman bawa enam.”

“Segini doang mah kecil. Lagian lo itu lagi ada Junior, enggak boleh bawa berat.”

Bian mendengus, “Gue cuman hamil, bukan sakaratul maut.”

Dan terkutuklah arsitek atau wakil kepala bidang sarpras. Ini dari kelas Bian ke ruang guru kaya dari Anyer ke Panarukan, ujung ke ujung maksudnya. Enggak tau apa rapor itu beratnya berapa kilo?

Tebelan juga lembar pelanggaran daripada lembar hasil ujian.

Duk.

Brak.

Bian terjatuh, begitu pula dengan enam buku rapor yang dibawanya. Perutnya nyeri, sebelah kanan. Rasanya benar-benar sakit karena sengaja disenggol dengan keras.

“Chan,” Lirih Bian.

Chanwoo membanting tujuh belas rapor begitu saja dan menatap Jennie kesal, “Lo kira ini jalan punya bonyok lo? Enggak sinkron ya otak sama saraf lo? Itu jalan segitu lebar masih aja nyenggol anak orang.”

“Ups, kan gue enggak sengaja, Jung.”

“GUE BILANG MINTA MAAF.”

Bian memejamkan matanya, tangannya meraih tangan Chanwoo dan memperingatinya untuk tetap sabar. Harusnya yang marah itu Bian, bukan Chanwoo.

Jennie agak takut lihat Chanwoo yang tiba-tiba galak begitu. Biasanya anak itu paling manis kalau di kelas.

“Iya Chan iya, sensi amat kaya orang bunting aja.”

Jennie berjongkok lalu menyisir rambut Bian ke belakang, “Sakit banget ya?” Ujar Jennie.

Chanwoo makin kesal degan suaranya yang dibuat-buat. Benar-benar tipikal queen wanna be. Chanwoo muak, pengen nampol. Mumpung tangannya Chanwoo big size juga kan. Kapan lagi memanfaatkan pemberian Tuhan.

Jennie mengusap perut kanan Bian, dan gotcha, dia mendapatkan jawabannya atas hipotesa yang ia dan gangnya buat selama ini. Lalu membantu Bian untuk berdiri, “Lo lagi hamil ya? Biar gue tebak, anak Jaehyun.”

“SEMBARANGAN KALO NGOMONG.”

“Chan, plis, jangan ngegas, malu diliatin.” Ujar Bian seraya menahan sakit. Gila. Ini benar-benar gila.

“Yang lagi hamil aja enggak sensi, oh jangan-jangan ini ya yang nyumbang spermanya?” Jisoo kompor, “Lis, lo masih mau ngarepin cowok kotor kaya gini, hm?”

Jaehyun yang kebetulan melewati lapangan mau ngapelin Chaeyeon jadi batal karena lihat Bian yang menahan sakit dan Chanwoo yang menahan emosi.

Wow, calm down babies, what’s happen, dude?” Jaehyun menepuk pundak Chanwoo. “Si Bian nahan berak?”

Jennie menyilangkan kedua tangannya, “Maaf ya Jung, gue enggak sengaja bikin bayi lo kenapa-napa. Cepet bawa ke rumah sakit gih, keburu keguguran.” Jennie menatap Jaehyun remeh, “Eh, kalau keguguran kan bagus, bisa bikin lagi. Kan enak di bikinnya. Am I right, Jungs?

“Lo itu bener-bener ular ya?”

“Gue? Ular? Cewek lo tuh, Jungkook dipepet, Pak Jinyoung dipepet, lo sama Chanwoo udah jadi budak seks yang keberapa, hm?” Jennie menaik turunkan sebelah alisnya, “Roseanne Park, are you serious for falling in love with this bastard? Lo juga masih jaga hati buat Jung yang ini, Manoban?” Tangannya menunjuk Jaehyun ketika mulutnya melafalkan bastard dengan lancar, dan Jung yang ini ke arah Chanwoo yang matanya menjadi dua kali lebih besar.

“Gue yakin itu kemaluannya udah kendor, upsie.”

Plak.

Jangan. Jangan berharap Bian yang menampar Jennie, tetapi berterima kasihlah kepada Roseanne Park yang sudah lama menaruh hati untuk Jung Jaehyun tetapi tak berani menyampaikan dan akhirnya kalah cepat dengan Jung Chaeyeon.

“Gue emang suka Chanwoo, tapi dengan ngatain kemaluan kendor, apa pantes?” Lisa mewakili pertanyaan menyudutnya untuk Jennie. “Apa pantes buat lo sendiri yang udah pernah dicobain banyak cowok?”

Bian menelan ludahnya kasar. Telinganya berdenging mendengar untaian kalimat-kalimat kasar yang saling dilayangkan untuk menyudutkan lawan bicara.

Jennie tertawa canggung, “Lo ngomong apa sih, Manoban?”

“Dan dimana sopan santun lo ngomong, Jung yang ini, Jung yang itu, Manoban yang ini, Park yang itu?” Rose bersuara lantang. “Kim Jisoo, lo bilang lo udah muak sama ini pelacur? Ayo ngomong.”

Mata Chanwoo kembali ke ukuran semula. Dia merasa jauh lebih tenang, hanya saja dia masih tidak mengerti tentang apa yang terjadi di sini. Awal permasalahannya memang Jennie yang sengaja menyenggol perut kanan Bian untuk beralibi menyentuhnya dan membuktikan hipotesisnya adalah benar. Tetapi makin lama ini yang bertengkar dari orang internal?

“Jaehyun, tolong bantuin Bian bawa rapor ke ruangan Pak Jinyoung ya? Gue mau ngurus ciwi-ciwi ini dulu.”

Repot memang kalau jadi wakil ketua kelas.

Jaehyun memberi tanda setuju dengan ibu jari kanannya lalu mengangkut tujuh belas rapor itu sendirian. “Videoin kalo ada sesi baku hantamnya.”

“Sip, gampang beb.”

Bian dengan tertatih, bersama Jaehyun, menuju ruangan Jinyoung untuk mengumpulkan rapornya. Di depan ruangan, Bian mengatur nafasnya dan harus tampak senatural mungkin, ia takut Jinyoung menyadari bahwa dirinya sedang kesakitan dan bisa-bisa menjatuhkan hukuman buruk untuk Jennie.

Kan ya repot.

“Mananya yang sakit?”

Bian menggeleng. Jaehyun ini, meskipun sudah dia patahkan hatinya berkali-kali tetap saja masih sabar menghadapinya dan memberikan banyak perhatian dengannya. Mungkin Jaehyun sadar dengan posisinya, tidak boleh muluk dengan meminta lebih dari sahabat, begitu pikirnya.

Tetapi perasaan Jaehyun tidak bisa dibohongi, tidak bisa ia manipulasi sesuka hati.

“Yakin?”

Bian mengangguk.

“Beneran, Jep.”

“Ciyus? Miapah?”

Bian menatap Jaehyun datar, “Coba kalo gue bawa satu rapor, udah gue tabokin ke muka lo.”

“Ih, ya takut dong bosku. Tolong bukain pintunya dah, gabisa nih pangeran.”

Keduanya masuk begitu Bian membuka pintunya. Menyapa Jinyoung yang tengah sibuk dengan laptopnya dan juga bekal yang ada di pangkuannya.

Rapor ditumpuk di atas meja Jinyoung. Bian menarik kursi dan duduk di sebelah Jinyoung, menyuapi pria itu dengan bekal yang tadi pagi dibuatkan oleh mama.

Tidak hanya Jinyoung yang diberi bekal makan siang, Bian pun juga. Porsinya juga jauh leih besar daripada Jinyoung. Dengan ekstra sayuran dan buah-buahan yang baik untuk ibu hamil.

“Makasih istriku,” Ujar Jinyoung dengan senyum di wajahnya.

Jaehyun bergidik, “How cringe our teacher are.

Jinyoung hanya membalas Jaehyun dengan senyuman lalu mengusirnya. Begitu Jaehyun benar-benar pergi dari ruangannya, Jinyoung mengangkat Bian untuk duduk di pangkuannya.

“Kerasa enggak?” Bisik Jinyoung.

Bian menatap sinis gurunya itu, tangannya tetap menyuapi pria dua puluh lima tahunan itu.

Jinyoung merengek, “Bunda ih, masa papa dicuekkin?” Tangannya ia kalungkan di pinggang Bian.

Bian melirik Jinyoung geli, “Apaan sih mas? Di sekolah tau,”

Jinyoung gemas langsung saja ia menyelipkan rambut Bian ke belakang telinga dan mencium pelan tengkuknya. Meninggalkan bekas kemerahan yang samar.

Bian memang menolak sentuhan Jinyoung tetapi tubuhnya bereaksi sebaliknya. Belum lagi dengan tangan nakal Jinyoung yang mengacak paha dalamnya.

“Mas, jangan.” Tangan Bian menahan jemari Jinyoung yang bergerak aktif di pusat tubuhnya. “Jangan dulu.”

Jinyoung tidak mendengarkan. Ia terus melumat bibir ranum milik Bian dan meninggalkan banyak bercak kemerahan di belakang telinganya. Dengan semangat Jinyoung mengangkat Bian dan mendudukkannya di atas meja.

Laptop ia tutup dan singkirkan, lembar ujian berserakan hingga berjatuhan. Di hadapannya, Bian telentang dengan seragam yang sudah tidak rapi, menatap Jinyoung dengan ekspresi memohonnya.

Jinyoung melumat dengan tempo cepat bibir muridnya itu. Semakin cepat dan semangat begitu Bian meremas dan menjambak pelan rambut belakangnya.

“Mas, langsung ke inti aja.” Pinta Bian. Sebagai siswa, dia masih waras dan tidak mau meninggalkan jam pelajaran setelah istirahat hanya demi rebahan di atas meja kerja Jinyoung.

Permintaan Bian dibalas anggukan oleh Jinyoung, tandanya laki-laki itu setuju. Langsung saja pria itu menurunkan dalaman milik siswinya hingga lutut.

Impian liarnya benar-benar terwujud.

Gesper dan kancing celana kain miliknya sudah lepas, tinggal menurunkan celana bagian dalamnya dan menyatukan pusat tubuh keduanya. Aroma ruangan Jinyoung yang semula berbau lavender, kini benar-benar penuh dengan aroma percintaan keduanya.

Dentingan jam dinding beradu dengan nafas tersengal keduanya. Bian mendesah, Jinyoung mengerang tertahan. Kombinasi sempurna sebagai perwujudan impian Jinyoung.

“Dek, Mas join ya?”

Bian mengangguk. Menarik kerah seragam Jinyoung dan melumat bibirnya. Menyalurkan rasa melalui saliva. Benar-benar luar biasa.

Brak.

“Subhanallah, Park Jinyoung!”

Bian buru-buru bangkit dari meja kerja Jinyoung dan menunduk di bawah meja kerja Jinyoung.

Teacher; Park JinyoungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang