Bab 18 - Dia Orangnya

7.4K 1.1K 98
                                    

Hembusan angin sore menembus pori-pori cowok itu. Seperti yang sudah-sudah, setangkai mawar putih dia letakan diatas gumparan tanah sang adik. Cowok itu mengulum senyum, lamat-lamat memperhatikan papan nama yang sudah dua tahun tersemat disana.

"Abang dateng lagi, Ri. Kamu apa kabar?"

Satu kekehan kecil keluar dari mulut Taehyung, kebiasaan ini muncul lagi. Disaat Taehyung yang seolah lelah bercerita pada teman--sahabat--atau orang terdekatnya, cowok itu akan menemui Taeri, yang notabene adalah adiknya. Berbicara banyak hal pada papan tak bernyawa itu. Berpikiran bahwa benda itu akan lebih mendengarnya dari pada makhluk hidup sekalipun.

"Kamu tau nggak Ri, abang kayak nemuin diri kamu lagi."

"Dia, Ri. Dia sama persis kayak kamu. Cerewet. Apalagi kalo udah ngomel-ngomel. Rasanya, abang pengen banget nutup mulutnya. Berisik, Ri. Kayak kamu."

Mata Taehyung menengadah keatas. Melihat langit yang mengingatkannya lagi pada sosok seorang ibu. Cerah, salah satu alasannya untuk hidup. Namun saat langit itu hilang, maka hidupnya pun akan hilang. Mati.

"Dia baik, sama kayak mama."

Satu helaan nafas berat lolos dari bibir Taehyung, kembali menatap pusaran makam Taeri. "Tapi abang benci, Ri. Benci situasi dimana abang nggak punya pilihan selain pergi, bersikap nggak peduli."

※※※

"Cepetan bang Jin! Astaga, lama banget sih! Elo kan cowok!" pekik Jennie saat sudah berjarak beberapa meter di depan Seokjin.

Sedangkan Seokjin menghela nafas, menajamkan matanya kearah cewek yang sekarang tengah mengenakan pakaian serba hitam. "Ck. Masih untung gue baik nemenin lo sampe sini."  decak cowok itu.

Bagaimana tidak? Tepat ketika Seokjin sampai rumah sepulang kampus, Jennie langsung merengek ingin menemui nenek di pemakaman. Merajuk seolah Jennie adalah makhluk tersedih di dunia, dengan embel-embel 'dia kan nenek lo juga, bang' kurang lebih seperti itu. Sialan sekali, ya. Lagipula, Seokjin bukannya tidak ingin datang, atau malas. Malah, cowok itu rindu sekali dengan nenek.

Seokjin juga ingin memberi salam di makam sang nenek. Namun, apa Jennie tidak bisa melihat Seokjin yang kelelahan seperti sekarang? Beruntung Jennie adalah adiknya sendiri.

"Cepet, bang! Nanti keburu gelap." rajuk Jennie lagi.

Mau tak mau, Seokjin akhirnya mengangguk. Melangkahkan kakinya lebih cepat, lalu menyahut kencang. "Iya iya! Tunggu bentar!"

Sampai kedua kakak-beradik itu menyetarakan jalan. Membelokkan tubuh karena deretan makam lainnya, lalu menemukan satu papan nama bertuliskan Lee Nessa. "Halo, nenek! Jennie dateng nih. Kangen aku, nggak?"

"Dasar bocah," gumam Seokjin dari belakang.

Jennie mendesis pelan, lalu berjongkok dengan taburan bunga di genggamannya. "Tuh, liat, nek. Bang Jin emang selalu gangguin aku. Harusnya dulu, nenek sering-sering aja jewer dia. Biar kapok." curhat Jennie pada pusara neneknya.

Sedangkan Seokjin melebarkan mata tak percaya. "Bohong, nek! Jelas-jelas dia yang selalu cari masalah sama aku. Nenek jangan dengerin dia, oke?"

"Duh, Bang. Nenek itu lebih deket sama gue. Dari smp sampe gue pindah ke Jakarta, nenek tinggalnya sama gue. Jadi, bisa gue simpulkan, bahwa cucu kesayangan nenek ya gue! Ngerti lo?" sahut Jennie tak mau kalah.

SARCASM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang