[maaf aku baru update lagi, kemarin benar-benar dalam kondisi yang enggak memungkinkan untuk update huhuhu
ayo siapkan tisu untuk chapter ini ya :'D]
Suasana pemakaman sore itu begitu sendu. Kelabu memayungi areal tanah yang luas itu. Daun-daun saling bergesekan diterpa angin dingin sore hari yang tak bersahabat. Entah, entah hujan benar-benar akan turun, atau karena semesta sedang menujukkan duka citanya pada gadis yang tengah berdiri mematung di antara dua makam. Di sisi kanannya milik ibunya yang sudah lama meninggalkannya. Di sebelah kirinya, gundukan tanah yang masih baru milik ayahnya.
Gadis itu memandang nanar ke arah nama sang ayah yang terukir di papan kayu salib itu. Sudah tiga puluh menit si gadis tidak juga meninggalkan tempat ini. Bahkan hingga air matanya mongering tak lagi mau keluar. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Dulu saat masih kecil, saat ibunya pergi, ada sang ayah yang selalu memeluknya dan mengatakan kalau ibunya akan lebih bahagia jika pergi. Dulu saat kekuatannya hilang, ada ayahnya yang selalu menopangnya agar kembali berdiri kokoh seperti semula. Meski semua itu tidak bertahan lama, karena sang ayah perlahan seolah melupakan sang ibu ketika melirik ke arah lain.
Dan kini, ketika ayahnya kembali seperti ayahnya yang dulu, yang ia kenal, semesta harus berkhianat padanya. Ia mengambil ayahnya dan membiarkan gadis itu yatim piatu. Ia tak tahu lagi harus ke mana meski kedua kakaknya masih hidup. Meski kini ia punya lebih banyak teman dari pada dulu. Tetap saja, orang tua adalah rumah. Sejauh apapun ia pergi, tetap saja orang tua adalah tujuan utamanya. Mimpinya dan hidupnya ia dedikasikan untuk orang tuanya. Tapi kini, setelah tujuannya sudah tiada, untuk siapa lagi ia hidup dan bermimpi?
"Papa bakalan ketemu mama, kan, di sana?" bisiknya entah pada siapa. Masih dengan tatapan kosongnya memandang ke depan.
Gadis itu menunduk, menggosok kecil ujung hidungnya yang memerah. Lalu menghela napas dalam-dalam dan kembali mendongak.
"Aku pulang dulu ya Ma, Pa. Kasihan Mas Chandra sama Mbak Linda nunggu di rumah. Besok aku ke sini lagi," gadis itu maju, sekali lagi mengusap dan mencium pusara kedua orang tuanya bergantian. Lalu berbalik berniat meninggalkan tempat peristirahatan terakhir ayah dan ibunya.
Baru selangkah, netranya langsung tertuju pada pemuda berpakaian serba hitam dengan sebuket bunga di tangannya yang berjalan ke arahnya.
Mengetahui si gadis menyadari keberadaannya, pemuda itu mempercepat langkahnya.
"Rose," ia memeluk gadis itu begitu saja.
"Aku baru dapat kabar dari Lisa jadi aku langsung ke sini. Aku turut berduka. Kamu harus kuat, ya?" pemuda itu melepas pelukannya dan memandang gadis di hadapannya khawatir.
Gadis itu—Rose—mengangguk, mengusap ujung matanya dengan jari.
"Makasih, udah sempetin dateng," balas gadis itu parau.
Pemuda itu—Jeffrey—mengangguk lalu melihat ke sekeliling tidak mendapati siapapun yang ia kenal.
"Kamu—sendiri?" tanyanya serta meraih jemari Rose dan menuntunnya kembali ke makam ayahnya. Gadis itu menurut saja—entah karena sedang blank atau bagaimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Perfect Rose - I got her [JUNROS]
Teen Fiction[COMPLETED] "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet." - William Shakespeare (was Dear Roseanne) A June x Rose fan(teen)fiction -NON BAKU- Dear Roseanne start : 080218 @delareine