04. Topeng Emas

4.4K 508 51
                                    

Neria menyambut kepulangan Panglima dengan omelan.

"Kenapa baru pulang jam segini? Ke mana saja? Bukannya katanya kamu cuma mau ke jamuan makan?"

Panglima tidak berminat menjawab.

"Aku perlu mandi air hangat," katanya lirih.

Neria mendengus.

"Aku sudah siapkan."

Mereka berjalan ke pemandian. Neria menutup semua pintu dan jendela, menguncinya, lalu memasang tirai di sekeliling ruangan.

"Sini, aku bantu Panglima melepaskan pakaian."

Bahkan sebelum Neria mulai, Panglima sudah melepaskan kaftannya dan melemparnya ke sudut ruangan. Berikutnya, tangan kekar Panglima menelanjangi bahunya yang kokoh dan tegap. Neria mengambil kaftan dan atasan Panglima yang berserakan dan melipatnya rapi di sudut ruangan.

"Untuk bagian berikutnya, aku perlu bantuanmu," ujar Panglima merentangkan kedua tangannya.

Neria langsung memijat pelipisnya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Panglima, kalau kalimatmu terdengar ke luar ruangan, aku bisa disangka selir rahasia lagi."

Panglima tersenyum tipis. Memang benar bahwa ada rumor tidak sedap soal mereka berdua. Oh, sedap dan tidak sedap itu tergantung persepsi, tentu saja. Bagi seorang panglima, seorang tabib yang merangkap sebagai "penghangat" di malam hari bukan masalah besar. Banyak panglima lain melakukan hal serupa. Tapi bagi Neria tentu tidak sesederhana itu. Seperti yang gadis itu sendiri katakan, "Selama aku melayanimu, aku tidak akan bisa menikah."

"Aku bukannya menyesal melayanimu," keluh tabib itu sambil membuka ikatan kain yang membebat dada dan perut Panglima. "Hanya saja waktu menyetujuinya, aku tidak berpikir sejauh ini."

"Sejauh apa?"

Neria menyingkirkan semua helai kain yang menyembunyikan lekuk tubuh Panglima Tinggi-nya, lalu menguraikan rambut merahnya yang panjang. Terakhir, ia melepas topeng emas yang menutup wajah sang panglima, menampilkan paras elok dan rupawan yang tersembunyi di baliknya. Ia melihat dari atas ke bawah lekuk tubuh sang Panglima sebelum berkata: "Sejauh menyimpan rahasia sebesar ini seorang diri."

***

Panglima Tinggi Artunis belum bosan berendam di air hangat beraroma rempah-rempah. Wangi ini wangi favoritnya. Artunis merasa bahwa mandi air hangat dengan wewangian yang disiapkan Neria selalu membuatnya rileks dan mudah berpikir jernih.

Gadis itu sedang memijat kulit kepalanya sambil berceramah.

"Lihat kulit kepalamu sampai kering begini. Rambutmu juga, sedikit lagi terjemur matahari, warnanya bisa berubah oranye lho," ocehnya.

Setelah membasuh bersih rambutnya, perhatian Neria beralih ke wajah Panglima. Ia menilik dengan teliti bagian pipi dan hidung Panglima, terutama bagian batas topeng emasnya.

"Aduh, Panglima, tolong jangan keluar rumah kalau sedang panas terik. Kalau kulit wajahmu belang bagaimana coba?"

Ia menyambar lengan Panglima, lalu menunjuk punggung tangannya yang hitam terbakar matahari, dan lengannya yang putih karena selalu tertutup pakaian.

"Nanti jadinya seperti ini."

"Neria..," panggil Panglima lembut.

"Panglima, tidak bisakah kamu merawat tubuhmu walau cuma sedikit saja? Tidak seharusnya anak perem-"

Panglima berdehem.

"Anak bangsawan serampangan mengurus tubuh."

Panglima termenung melihat bentuk tubuhnya sendiri di air, lalu menghela nafas. Semua ini karena...nasib.

Sejak berdiri, takhta kerajaan Surpara selalu diturunkan kepada anak laki-laki. Tanpa penerus takhta, kedudukan Kaisar se-agung apa pun tidak akan stabil, dan kesetiaan para pengikutnya tidak pasti. Ayah Artunis, Sang Agung Kaisar saat ini, mengambil selir ketika usianya tidak muda lagi. Ketika Ibundanya mengandung Artunis, semua orang berharap yang lahir adalah seorang Putra Agung - anak laki-laki. Ketika yang lahir adalah seorang anak perempuan...

Ayah dan Ibundanya menyimpan rapat rahasia tersebut. Rakyat diberi pengumuman bahwa Surpara memiliki seorang Putra Agung. Artunis mendapatkan semua pelatihan dan tugas sebagai seorang Putra Agung, belajar dan berlatih bersama putra-putra bangsawan lainnya. Dalam hidupnya, tidak pernah satu kali pun ia mengenakan pakaian perempuan, bicara seperti perempuan, dan mengerjakan pekerjaan perempuan. Satu-satunya saat ia ingat bahwa dirinya adalah seorang perempuan, adalah ketika ia membersihkan diri.

Neria mengambil handuk bersih dan mengeringkan tubuh Panglima, lalu membantunya berpakaian.

Tapi Panglima memang luar biasa. Kalau aku tidak memandikanmu setiap hari, aku pasti sudah jatuh cinta.

***

Pagi itu, Menno sedang memukul-mukul kepalanya sendiri dengan kuas sebagai ritual memanggil inspirasi ketika Liam membuka pintu kamar tanpa permisi.

"Paman! Paman!"

Menno menaikkan sebelah alisnya.

"Pagi ini Askar memeriksa semua karavan yang berada di kota."

"Askar?" tanya Menno setengah tidak peduli.

"Dia tangan kanan Putra Agung Artunis. Pagi ini dia membawa sepasukan tentara dan menggeledah karavan-karavan yang ada di dalam kota. Karavan ayahku juga."

"Oh..."

"Paman tahu apa yang mereka cari?" tanya Liam, mencoba membuat Pamannya penasaran.

"Kahalu."

Liam berdecak kagum.

"Waah, Paman tahu dari mana? Mereka bilang ada perintah dari Putra Agung untuk menangkap semua pedagang yang kedapatan memiliki kahalu."

Tentu saja, pikir Menno.

"Tapi tentu saja tidak ada orang yang punya kahalu di sini. Bunga itu hanya tumbuh di Mirchad dan saat ini, hanya karavan kita yang berasal dari...."

Kata-kata Liam terhenti. Ia berdiri dan buru-buru melangkah ke pintu.

"Tidak ada." Menno menghentikan Liam. "Di karavanmu sudah tidak ada kahalu."

Sore kemarin setelah dia menyuruh Liam kembali ke kamar, Menno pergi ke karavan dan menghancurkan semua kahalu yang ia temukan, daun dan bunganya. Itu sebelum ia tersesat dan bertemu dengan Panglima Bertopeng Emas.

Liam berpikir sejenak, lalu kembali duduk.

"Paman benar-benar penyelamatku. Eh, Paman, apa Paman tahu kenapa mereka mencari kahalu?"

Liam bergidik mendengar penjelasan Menno. Mereka benar-benar berjarak hanya selangkah dari maut.

"Kalau mereka benar-benar menemukan kahalu di karavanku, aku bisa mati."

Menno mengangguk.

"Tapi aku yang tumbuh di Mirchad bahkan belum pernah tahu bahwa daun kahalu beracun. Sejak kapan?"

"Semua hal bisa menjadi racun kalau kamu tahu cara menggunakannya," jawab Menno sambil menatap sketsa pria bertopeng di kanvasnya, "dan sepertinya Malaikat Maut kita juga tidak tahu banyak soal itu."

Artunis (Artunis #1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang